Larangan Jual Beli secara Gharar dan Jahalah
Definisi Gharar dan Jahalah
Gharar menurut bahasa berarti bahaya atau risiko. Adapun mneurut istilah para ulama’, pengertian gharar sebagai berikut:
Imam hanafiyah berpendapat bahwa gharar adalah sesuatu yang tersembunyi akibatnya, tidak diketahui apakah ada atau tidaknya.
Imam malikiyah berpendapat bahwa gharar adalah sesuatu yang ragu antara yang selamat (bebas dari cacat) dan rusak.
Imam syafi’iyah berpendapat bahw gharar adalah sesuatu yang tersebunyi akibatnya.
Imam hanabilah berpendapat bahwa gharar adalah sesuatu yang ragu antara dua hal, salah satu dari keduanyatidak jelas.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa gharar adalah suatu akad jual beli yang mengandung resiko atau bahya kepada salah satu pihak orang yang berakad sehingga mendatangkan kerugian financial.
Sedangkan jahalah menurut bahasa adalah samara tau ketidak tahuan.Sedangkan mneurut istilah adalah kecacatan yang menimpa salah satu syarat sah dalam mu’awadah (saling tukar/menukar/barter) baik berkenaan dengan harta mapun barang yang diperjualbelikan dan waktunya.
Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang berbunyi:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“ Rasulullah Saw melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar”.
Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar sangatlah penting, karena banyak permasalahan jual-beli yang bersumber dari ketidak jelasan dan adanya unsur taruhan di dalamnya. Imam Nawawi mengatakan : “Larangan jual beli gharar merupakan pokok penting dari kitab jual-beli. Oleh karena itu Imam Muslim menempatkannya di depan. Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat banyak, dan tidak terhitung”. Dan adapun isu hukum yang timbul dari pada hadist tersebut ialah tentang definisi atau maksud gharar yang dilarang dalam hadist ini.
Macam – macam larangan jual beli karena gharar dan jahalah
1. Bai’ al – Munabadzah (lempar – melempar)
Yaitu jual beli dengan cara lempar – melempari. Seperti seorang penjual berkata kepada pembeli: “pakaian yang aku lemparkan kepadamu itu untukmu dan harga yang sekian”. Jual beli seperti ini termasuk jual beli rusak (fasid).Oleh karena itu hukumnya tidak sah.Alasannya, karena ketidaktahuan (jahalah), penipuan, tidak ada unsur saring ridha di dalamnya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis berikut ini:
اَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الْمُنَابَذَةِ وَهِيَ طَرْحُ الرَّجُلِ ثَوْبَهُ بِاالْبَيْعِ اِلَى الرَّجُلِ قَبْلَ عَنْ يُقَلِّبُهُ اِلَيْهِ وَنَهَى عَنْ الْمُلَامَسَةِ وَالْمُلَاسَةُ لَمْسُ الثَّوْبِ لاَ يَنْظَرُ اِلَيْهِ
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah saw. Melarang munabadzah, yaitu seseorang melempar pakaiannya sebai bukti pembelian harus terjadi (dengan mengatakan bila kamu sentuh berarti terjadi transaksi) sebelum orang lain itu menerimanya atau melihatnya, dan beliau juga melarang mulamasah, yaitu menjual kain dnegan hanya menyentuh kain tersebut tanpa melihatnya (yaitu dengan suatu syarat misalnya kalau kamu sentuh berarti kamu harus membeli.” (HR. Bukhari [No. 2000] dan Muslim [No. 2782] dari Abu Sa’id al-Qhudri R.a.)
2. Bai’ Mulasamah (Jual beli saling menyentuh)
Yaitu jual beli saling menyentuh.Maksudnya, apabila pembeli meraba kain atau pakain milik si penjual, maka si pembeli harus membelinya.
Imam al-Bukhari dan Muslim رحمهما الله meriwayatkan dari Abu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمُلاَمَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ فِي الْبَيْعِ.
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mulamasah dan munaba-dzah dalam jual beli.”
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahiih-nya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “(Jual beli mulamasah), yaitu masing-masing dari dua orang menyentuh pakaian milik temannya tanpa ia perhatikan dengan seksama.”
Jual beli ini tidak layak dengan dua sebab:
1. Adanya jahalah (ketidakjelasan barang)
2. Masih tergantung dengan syarat.
Syaratnya ialah seorang pedagang berkata, “Aku jual pakaian yang engkau sentuh dari pakaian-pakaian ini.”
Masuk dalam larangan ini semua barang, maka tidak boleh membeli sesuatu dengan cara mulamasah karena adanya dua sebab yang sudah disebutkan tadi, baik barang tersebut berupa pakaian atau yang lainnya.
3. Bai’ al – Hashah
Yaitu seseorang penjual atu pembeli melemparkan batu krikil dan pakain mana saja yang terkena lemparan batu kecil tersebut, maka pakain tersebut harus dibeliny tanpa merenung terlebih dahulu, juga tanpa ada hak khiyar setelahnya.Batalnya akad ini karena brang yang dijual atau waktu khiyar tidak diketahui, atau karena ada sighat (ijab atau qabul). Sebagaimana yang dijelaskan pada hadis berikut ini:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Artinya: “Rasulullah SAW. Melarang jual beli dnegan cara hashah (yaitu jual beli dengan melempa krikil) dan cara yang mengandung unsure penipuan.” (HR. Muslim [NO. 2783] dan Ashab al – Sunan dari Abu Hurairah Ra.)
4. Bai’ Habl al – Habalah
Yaitu jual beli janin bitang yang msih dalam kandungan induknya. Jual beli ini dilarang karena bentuk jual beli terhadap sesuatu yang bukan hak milik, tidak diketahui dan tidak mampu diserahkan. Sebagaimana yang dijelaskan pada hadis berikut ini:
ان رسول الله صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ اْلحَبَلَةِ وَكَانَ بَيْعًا يَتَبَايَعُهُ اَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ كَانَا الرَّجُلُ يَبْتَاعُ الْجَزُوْرَ اِلَى اَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ ثُمَّ تَنْتَجُ الَّتِي فِي بَطْنِهَا
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang menjual (anak) yang dikandung dalam perut unta. Cara itu merupakan jual beli orang – orang jahiliyah, yang seseorang membeli sesuatu yang ada didalam kandungan unta, hingga unta itu melahirkan, lalu anak unta tersebut melahirkan kembali.”(HR. Bukhari [NO. 1999] dan Muslim [No. 2785] dari Ibnu Umar Ra).
5. Bai; al – Madhamin
Bai’ al – Madhmin yaitu menjual sperma yang berada dalam sulbi unta jantan. Maksudnya adalah bahwa si penjual membawa hewan jantan kepada hewan betina untuk dikawinkan. Anak hewan dari hasil perkawinan itu mnejadi milik pembeli. Sebagaimana yang dijelaskan pada hadis berikut ini:
لَا رِبًا فِي الْحَيَوَانِ وَاِنَّمَا نَهَي مِنَ الْحَيَوَانِ عَنْ ثَلَاثَةٍعَنْ اْلمُضَامِيْنِ وَالْمَلاَقِيْحِ وَحَبْلَ الَحَبَلَةِ وَالْمُضَامِيْنِ بَيْعُ مَا فِي بُطُوْنِ اِنَاثِ الْاِبِلِ وَالْمَلَاقِيْحُ بَيْعُ مَا فِي ظُهُوْرِ الجِمَالِ
Artinya: “Tidak ada riba dalam jual beli hewan, hanya saja ada tiga hal yang dilarang dalan jaul beli hewan: madhamin, malaqih, dan habadul habalah (menjual janin masih dalam kandungan induknya). Madhamin adalah menjual janin yang masih dalam perut unta betina, sedangkan malaqih adalah menjual barang yang berada diatas punuk unta.” (HR. Muslim [No. 1169] dari Sa’id bin Musayyad Ra.)
Bai’ al – Tsamar Qabla Badawwi Shalahiha
Yaitu menjual buah – buahan sebelum masak. Dalil hukumnya yaitu
ان رسول الله صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُبْتَعُ
Artinya: Ssesungguhnya Rasulullah SAW. Melarang jual beli buah – buahan hingga sampai buah itu talah Nampak jadinya. Beliau melarang untuk penjual dan pembeli.” (HR. Bukhari [No. 2044] dan Muslim [No. 2834] dari Abdullah bin Umar Ra.)
6. Bai’ Tsanaya
Yaitu penjualan yang pengecualiannya disebut secara samar (kabur, tidak jelas). Mislanya seseorang menjual sesuatu dan mengecualikan sebagian. Jika yang dikecualikan itu dapat diketahui seperti pohon secara keseluruhan maka hukumnya saha. Adapun juka sebgiannya dari pohon maka hukumnya tidak sah karena termasuk jahalah (samar), gahrar (tidak pasti). Sebagaimana yang dijelaskan pada hadis berikut ini:
عَنْ اْلمُزَابَنَةِ وَالْمُحَاقَلَةِ وَعَنْ الثُّنْيُا اِلَّا اَنْ يَعْلَمَ ان رسول الله صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنْ بَيْعِ
Artinya: “Rasulullah SAW. Melarang mudzabanah (menjual kurma keringdengan ruthab, dan mnejual naggur dengan kismis secara takaran), dan muhaqalah (menjual gandum dalam bulirnya dengan gandum yang bersih) serta tsunya (mengecualikan sesuatu dalam jual beli) keciali apabila diketahui.” (HR. Ahmad dan Ashab al – Sunan Kecuali Ibnu Mjah [ Abu Dawud, No. 2956, Tirmidzi No. 1211, No. 4554] dari Jbir bin Abdullah).
7. Bai’ ma Lisa ‘Indahu
Yaitu jual beli sesuatu yang belum menjadi hak miliknya. Maksudnya, seseorang yang menjual barang miliknya, tapi barangnya tidak ada ditempat dan tidak menjelaskan bentuk dan sifatnya. Sebagaimana yang dijelaskan pada hadis berikut ini:
لاَ يَخِلُّ سَلَفُ وَبَيْعُ وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعِ وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ وَلاَ بَيْعِ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Artinya: “Tidak halal salaf (pinjaman) dan jual beli, dua syarat dalam jual beli, untung yang belum terjain dan jual beli yang bkan milikmu.” (HR. Ahmad dan Ashabal – Sunan (Abu Dawud No.3041, Tirmidzi No. 1151, Nasai No. 4532, Ibnu Majah No. 2179] dari Umar bin Syuaib Ra.).
Larangan Jual Beli karena Riba
Definisi Riba
Arti riba dalam bahasa arab artinya lebih(bertambah). Adapun yang dimaksud disini menurut istilah syara’ artinya akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu.
Macam – macam Jual beli yang dilarang karena Riba
1. Bai’ al – Inah
Imam Nawawi dalam Tahzib al – Asma’ wa al – Lughah inah adalah akad jual beli yangd apat mendatangkan ‘aib, yaitu keuntungan dinar dan dirham. Seperti, orang yang menjual barang dagangannya dengan secara diangsur (kredit) sampai batas waktu yang telah disepakati. Setelah itu dia membelinya kembali pada majlis yang sama secara kontan dengan harga yang lebih murah, agar selamat dari riba. Seolah – olah ia menjual dirham yang dikreditkan dengan dirham yang kontan bersamaan dengan adanya perbedaan selisih harga. Sedangkan harga barang itu hanya sekadar tipu daya (hailah), apadahal intinya adalah riba.
اِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيَنِهِ وَاَخَذْتُمْ اَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضَيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْالْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لَايَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا اِلَى دِيْنِكُمْ
Artinya: “Apabila kalian jual beli secar ‘inah dan memegangi ekor – ekor api (kinayah atas sibuknya urusan pertenakan/keduniawian) dan puas dengan pertania serta meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan atas kamu kehinaan. Dia tdak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada agama kalian”. (HR. Abu Dawud [No. 3003] dan Ahmad dari Abdullah bin Uar Ra.)
2. Bai’ al – Muzabanah
Secara bahasa artinya menolak. Karena penolakan akanmendatangkan perselisihan. Sedangkan menurut istilah adalah menjual sesuatu yang tidak diketahui jumlahnya atau jenisnya dapat berimplikasi kepada riba.
نَهَى ان رسول الله صلى الله عليه وسلم
عَنْ الْمُزَابَنَةُ وَالْمُزَابَنَةُ اشْتِرَاءِ الَّثمَرِ بِالتَّمْرِ كَيْلَ وَبَيْعُ الْكَرِمِ بِالزَّبِيْبِ كَيْلاً
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang al – muzabah, al – muzabah adalah menjual kurma masak dengan kurma basah dengan timbangan tertentu dan menjual anggur kering dengan anggur basah dengan timbangan tertentu.” (HR. Bukhari [No. 2036], Tirmidzi [No. 1145] dari Abdullah bin Umar Ra.)
3. Bai’ al – Muhaqalah
Secara bahasa artinya tanaman dan tempat bercocok tanam. Sedangkan menurut istilah adalah menjual tanaman yang masih ada diladang atau disawah (ijon) atau menjual kebun tanah ladag dengan makanan yang telah disukat dan ketahui jumlahnya.
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمُ عَنْ المُخَابَرَةِ وَالْمُحَاقَلَةِ وَعَنْ الْمُزَابَنَةِ وَعَنِ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدَوُ صَلاَ حُهَا وَاَنْ لاَ تُبَاعُ اِلاَّ بِالدِّيْنَارِ الدِّرْهَمِ اِلاَّ اْلعَرَايَا
Artinya: “Nabi melarang mukhabarah, muhaqalah, muzabanah dan jual beli buah – buahan (dari pohon) hingga tnapak baiknya, dan tidak oleh dijual sesuatu pun darinya selain dengan dinar dan dirham, kecuali ‘arayaa.”
4. Bai’ al – Lahmi bi al – Hayawan
Yaitu menjual (menukarkan) daging dengan seekor hewan yag masih hidup. Hal ini dilarang karena ini termasuk salah satu jenis dan terdapat riba di dalamnya, yaitu menjual sesuatu yang aslinya sama dengannya. Dalam hal sama tidak bolehnya dengan menjual lampu dengan simsim .(bijian – bijan yang bisa dijadikan bahan bakar lampu).
ان رسول الله صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنْ بَيْعِ اللَّحْمِ بِالْحَيَوَانِ
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang kita mnejual daging dengan binatang..” (HR. Malik dari S’id bin al – Musayyab Ra.)
5. Tadlis
Adalah tindakan seorang peniaga yang sengaja mencampur barang yang berkualitas baik dengan barang yang sama berkualitas buruk demi untuk memberatkan timbangan dan mendapat keuntungan lebih banyak Tindakan “oplos” yang hari ini banyak dilakukan termasuk kedalam kategori tindakan tadlis ini. Rasullah saw sering melakukan ‘inspeksi mendadak’ ke pasar-pasar untuk memastikan kejujuran para pelaku pasar dan menghindari konsumen dari kerugian.
Yaitu sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi berusaha untuk menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown to one party) dengan maksud untuk menipu pihak tersebut atas ketidaktahuan akan informasi objek yang diperjualbelikan.
Hal ini bisa penipuan berbentuk kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan.
Sebagai contoh : apabila kita menjual hp second dengan kondisi baterai yang sudah sangat lemah, ketika kita menjual hp tersebut tanpa memberitahukan (menutupi) kepada pihak pembeli, maka transaksi yang kita lakukan menjadi haram hukumnya.
7. Bai’ al – Dain bi al – Dain
Yaitu jual beli dengan cara beruntang dan pembayaran dilakuakan dengan cara berutang pula.
ان النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمُ عَنْ بَيْعِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ يَعْنِى الدَّيْنِ بِالدَّيْنِ
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SWA melarang kita menjual secara tangguh (berutang) dengan secara tangguh pula.” (HR. Bazar dan Darqhutni dari Ibnu Umar Ra.)
7.Bai’ataini fi Bai’atain
Yaitu dua penjualan dalam satu produk atau dua akad dalam satu akad.
نهي رسول الله صلى الله عليه و سلم عَنْ بَيْعَتَيْنِ فىِ بَيْعَةٍ
Atinya: “Rasulullah SAW melarang kita melakukan dua penjualan dalam satu produk. simmak bertkata: “yaitu seseorang menjual suatu benda , danmnegatakan: ’Dengan tangguh sekian, dan bila kontan harganya sekian’”. (HR. Ahmad dari Abdullah bin Mas’ud dari bapaknya).
Larangan jual beli dengan cara penipuan
8. Bai’ al – Rahul ‘ala Bai’ Akhihi
Yaitu jual beli seseorang atas jual beli saudaranya.
لاَ يَبَيْعِ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ اَخِيْهِ
Artinya:”Janganlah sebagain dari kalian membeli apa yang dibeli (sedang ditawar) oleh saudaranya.” (HR. Bukhari [No. 1995] dan Mulsim [No. 2787] DARI Abdullah bin Umar Ra.)
9.Bai’ Najsy
Secara bahasa berarti menyembunyikan, penipuan, penambahan.Sedangkan menurut istilah daalah menaikkan harga komoditi yang dilakuakan oleh orang yang tidak ingin membeli barang yang diperjual belikan. Tujuannya adalah hanya semata – mata agar orang lain tertarik untuk mebelinya.
نهي رسول الله صلى الله عليه و سلم عَنْ النَّجْشِ
Artinya: “Nabi Saw melarang dari menambahkan harga barang dagangan yang mengandung unsure penipuan terhadap orang lain.”(HR. Bukhari [No. 1998] dan Muslim [No. 2791] drai Ibnu Umar Ra.)
10.Bai’ Talaqq al – Jalb au al – Rukhban
Yaitu sekelompok orangyang menghadang atau mencegat pedagang yangmembawa barang dipinggir kota (di luar daerah pasar). Mereka snegaja membeli barang dagangan sebelum mereka mengetahui harga di pasar.Meraka mengatakan kepada pedagang bahwa harga sedang jatuh, pasar sednag sepi. Tindakan mereka itu mengakibatkan pedagang tertipu. Sementara mereka sendiri membeli barang dagangannya dengan harga dibawah standar. Tindakan merka seperti itu dilarang karena dapat mengakbatkan kemudaratan (kerugian) kepada pihak pedagang.
نهي رسول الله صلى الله عليه و سلم اَنْ يُتَلَقَّى الْجَلَبُ
Artinya: “ Rasulullah SAW melarang seseorang mencegat rombongan dagang (yaitu mencegat rombongan pedagang sebelum sampai ke pasar dengan maksud menjual barang dagangan mereka dengan harga berlipat –lipat”.(HR. Muslim [No. 2975] fari Abu Huarirah Ra.)
11. Bai; al – Hadhir li al – Bad
Adalah jual beli yang dilakukan oleh seorang agen (penghubung) terhadap produk pertanian desa yang dijul kepada pedangan kota. Dia menjual komoditi lebih mahal dari pda harga saat itu.Dan dia dapat komisi dari petani dan pembeli dikota.
ان النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمُ قَالَ:لَا يَبِيْعُ حَاضِرُ لِبَادِ دَعُو النَّاسِ يَرْزُقُ اللهُبَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ
Artinya: “Bahwasanya Nabi SAW bersabda: Penduduk kota tidak boleh menjual barang milik penduduk desa (yang dititipkan kepdanya). Biarkanlah manusia, masing – masing saling menerima rezeki dari Allah.” (HR. Al – Jamaah selain Bukhari dari Jabi bin Abdullah Ra.)
Namun ada beberapa syarat yang ditetapkan oleh para ulama yang menyebabkan jual beli ini menjadi terlarang, yaitu:
1. Barang yang ia tawarkan untuk dijual adalah barang yang umumnya dibutuhkan oleh orang banyak, baik berupa makanan atau yang lainnya. Jika barang yang dijual jarang dibutuhkan, maka tidak termasuk dalam larangan.
2. Jual beli yang dimaksud adalah untuk harga saat itu. Sedangkan jika harganya dibayar secara diangsur, maka tidaklah masalah.
3. Orang desa tidak mengetahui harga barang yang dijual ketika sampai di kota. Jika ia tahu, maka tidaklah masalah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 9: 83)
12. Bai’ Fadl al – Mai
Adalah jual beli air yang lebih daripada keperluan.
اَنَّ رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لَا يُمْنَعُ فَضْلُ الْمَاءِ لِيُمْنَعُ بِهِ الْكَلَاُ
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: jangan kelebihan air ditahan, dengan maksud untuk menahan tumbuhnya tanaman.” (HR. Bukhari [No. 2182] dan Muslim [No. 2925] dari Hurairah Ra.)
13. Bai’ al – Muhtakir
Adalah jual beli penimbunan barang komoditi (barang yang dapat diperjualbelikan)
لَا يَحْتَكِرَ اِلَّا خَاطِئٌ
Artinya: “Tidaklah orang yang menimbun, meliankan ia berdosa karenanya”. (HR. Muslim [No. 3013] dari Ma’mar bin Abdullah Ra.).
Bai’ al – Ghasysyi
Yaitu jual beli yang didalamnya terdapat penipuan.Menurut jumhur ulama’ adalah menyembunyikan cacat yang ada pada barang sehingga berpengaruh pada harga.
اَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لاَ تُصَرُّوا الْاِبِلِ وَالْغَنَمِ فَمَنْ ابْتَاعَهَا بَعْدُ فَاِنَّهُ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدِ اَنْ يَحْتَلِبَهَا اِنْ شَاءَ وَاِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعَ تَمْرٍ
Artinya: “Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kalian mengikat pentil susu unta dan kambing. Maka barang siapa membli susu dari pentil susu yang diikat, dia boleh memilh yang dipandang lebih baik, yaitu meneruskan pembelian atau menembalikan setelah susu selesai diperas. Jika dia tidak keberatan, dia boleh menahnnya dan jika tidak dia boleh mengembalikannya beserta segantang kurma.” (HR. Bukhari [No. 2004], Muslim [No. 2805] dari Abu Hurairah Ra.)
14. Bai’ al – Tajilah
Yaitu pedagang yang terpaksa menjual barang dagangannya agar cepat habis dengan tujuan agar terhindar dari kejahatan orang dzalim.
اِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
Artinya: “Hanya saja jual beli itu dihukumi sah bila dasar suka sama suka.” (HR. Ibnu Majah [No. 2176] dari Abu Sa’id al – Khudriy Ra.)
Menipu dengan penawaran
عن ا بن عمر ا ن ر سو ل ا لله صلى ا لله عليه و سلم نهى عن النجش
Artinya :
Dari Rasulullah saw melarang penjualan barang dengan pujian.”
Pengertian “najasy” dalam hadis diatas juga berarti penjualan yang menyuruh dengan seorang kawannya dengan pura-pura menawar yang tinggiuntuk menarik orang lain.
Larangan Jual Beli karena Dzatnya (Haram Lidzatihi)
1. Bai’ al – Maitah
Secara bahasa adalah binatang yang mati dengan cara tidak disembelih. Sedangkan mneurut istilah syara adalah setiap binatang yang matinya tidak disembelih menurut aturan syara’.
Artinya: “Semoga Allah melaknat orang – orang Yahudi-beliau mengucapakannya sebanyak tiga kali-, sesungguhnya Allah telah mengharamkan lmak atas mereka, kemudian mereka mnejual dan memakan hasil penjualannya. Sungguh, jika Allah telah mnegahramkan suatu kaum untuk memakan sesuatu,maka Allah pun mengharamkan hasil penjualannya.” (HR. Abu Dawud [No. 3026] dari Ibnu Abbas Ra.)
2. Jual beli arak
Arak (khamr) secara bahasa berarti menutupi. Sedangkan mneurut syara’ islam adalah setiap minuman yang memabukkan yang terbuat dari perasan anggur. Adapun selain perasan anggur tidak disebut khamr melaikan disebut nabidz.Disebut khamr karena sesuatu itu bisa menutupu akal karna memabukkan.
Artinya: “Apabila kalian mndaptkan selainnya, maka makan dan minumlah padanya, dan apabila kalian tidak mendapatkan slainnya, maka cucilah menggunakan air dan makan serta minumlah.” (HR. Abu Dawud [No. 3342], Tirmidzi [No. 1484], Ibnu Majah [No. 2821] dari Abu Tsa’ibah al – Khusyani Ra.)
Jual beli anjing
عَنْ ا بى مسعود ا لا نصا ر ي ا ن ر سو ل الله صل لله عليه و سلم نهى عن ثمن ا لكلب و مهر البغي و حلوان الكا هن
Artinya :
“Dari Abu Mas’ud Al-Anshari bahwa Rasulullah melarang harga penjualan anjing, upah pelacuran dan upah tenung(ramalan nasib)”
3. Jual beli babi
Artinya :
“Sesungguhnya Allah dan Rasulnya mengharamkan jual beli khamr(minuman keras), bangkai babi dan patung.”
Jual batu kerikil
عَنْ اَبِى هر ير ت ر ضي ا لله عنه قف ل : نهي ر سو ل ا لله صلى ا لله عليىه و سلم عن بيع ا لحصا ت و عن بيع ا لغر ر
Artinya :
“Dari Abu Hurairah ra mengatakan Rasulullah telah melarang penjualan batu kerikil dan penjualan barang tidak dapat dipegang atau diraba(burung di udara atau ikan di laut)”
Jual beli kucing
عَنْ اَبِى الز بير قال : ساء لت ما برا عن ثمن السنو ر و ا لكلب فقا ل: ز مر ا لنبي صلى ا لله و سمل عن ذ لك
Artinya :
“Dari Abu Zubair mengatakan : aku telah bertanya pada Zabir tentang harta penjualan kucing dan anjing lalu dia mengatakan : Nabi saw telah mencela tentang penjualan itu.”
Larangan jual beli karena sebab lain (Haram Lighairihi)
Jual beli ketika adzan jumat
Para ulama’ sepakat tentang jual beli ketika adzan jumat hukumnya haram.
Artinya: “Adzan panggilan shalat jumat pada mulanya dilakukan ketika imam sudah duduk di atas mimbar. Hal ini dipraktikkan sejak zaman Nabi saw., Abu Bakar, dan ‘Umar Ra. Ketika masa Usman Ra. Dan manusia sudah semakin banyak, maka dia menambah adzan ketiga di az – zuara’. Abu ‘Abdullah berkata: ‘az – Zuara’ adalah bangunan yang ada di pasar di kota Madinah’”. (HR. Bukhari [No. 86] dari Saib bin Yazid Ra.)
Jual beli di dalam masjid
1. Para ulama’ berbeda pendapatmengenai hokum jual beli di dalam masjid perbedaan pendapat tersebut terangkum dalam dua hal yaitu, pertama hukum haram. Pendapat ini dikemukakan oleh hanafiyah, Hanbali dan sebagain malikiyah. Kedua, hukumnya makruh.Pendapat ini dikemukakan oleh malikiyah, syafi’iyah, zhahiriyah, dan sebagain Hanabilah.
Artinya: “Rasulullah SAW. Melarang melakukan jual beli di dalam masjid.” (HR. Ahmad, Abu Dawud [No. 911], dan Turmidzi [No. 296] dari ‘Amr bin Syu’aib Ra.)
2. Menjual mushaf al – Qur’an kepada Orang Kafir
Para ulama’ sepakat mengharamkan, selain hanafiyah yang mengatakan hukumnya makruh.
Artinya:” Rasulullah Saw. Melarang seseorang muslim membawa mushaf al – Qur’an ke daerah musuh (orang kafir.” (HR. Bukhari [No. 2768], dan Muslim [No. 3474] dari Abdullah bin Umar Ra.)
HADIS TENTANG NILAI-NILAI DASAR EKONOMI ISLAM
Minggu, 22 Oktober 2017
Sabtu, 21 Oktober 2017
Hadis tentang jual beli dan riba
Pengertian Jual Beli
Menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yanglain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’, al-mubadah, danat-tijarah. Menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan nya, antara lain:
Menurut ulama Hanafiyah: Jual beli adalah ”pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”
Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’: Jual beli adalah “pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.”
Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-mugni: Jual beli adalah “pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik. ”Pengertian lain nya jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan / menjual barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar / membeli barang yang dijual). Pada masa Rasullallah SAW harga barang itu dibayar dengan mata uang yang terbuat dari emas (dinar) dan mata uang yang terbuat dari perak (dirham).
Empat Dalil dalam jual beli :
1. Kitab Allah, dalam firman-Nya :
وأحل الله البيع وحرم الربا
“ Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba “
2. As-Sunnah, dalam sabda beliau, “Orang yang berjual-beli menurut pilihan nya selagi belum saling berpisah. “Banyak disebutkan nash Al-kitab dan As-sunnah.
3. Ijma’ orang-orang Muslim yang membolehkan nya.
4. Berdasarkan qiyas, karena kebutuhan kepadanya. Seseorang tidak bisa mendapatkan apa yang dia butuhkan, jika apa yang dia butuhkan itu ada ditangan orang lain, kecuali dengan cara tertentu.
Hadits-hadits Tentang Jual Beli :
عَنِعَبْدِاللهِبْنِعُمَرَرَضيَاللهُعَنْهُمَاعَنْرَسُوْلِاللهِصَلىَّاللهُعَليْهِوَسَلَّمَأَنَّهُقَالَإِذَاتَبَايَعَالرَّجُلاَننِفَكُلُّوَاحِدٍمِنْهُمَابِالْخِيَارِمَالَمْيَتَفَرَّقَاوَكَانَاجَمِيْعًاأَوْيُخَيِّرُأَحَدُهُمَاالآخَرَفَتَبَايَعَاعَلَىذَلِكَفَقَدْوَجَبَالْبَيْعُوَإِنْتَفَرَّقَابَعْدَأَنْيَتَبَايَعَاوَلَمْيَتْرُكْوَاحِدٌمِنْهُمَاالْبَيْعَفَقَدْوَجَبَالْبَيْعُ
“ Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, jika dua orang saling berjual-beli, maka masing-masing diantara keduanya mempunyai hak pilih selagi keduanya belum berpisah, dan keduanya sama-sama mempunyai hak, atau salah seorang diantara keduanya membeli pilihan kepada yang lain, lalu keduanya menetapkan jual-beli atas dasar pilihan itu, maka jual-beli menjadi wajib.”
عَنْحَكِيْمِبْنِحِزَامٍرَاضِيَاللهُعَنْهُقَالَرَسُوْلُاللهعَلَيْهِوَسَلَّمَالْبَيِّعَانِبِالخِيَارِمَالمْيَتفَرَّقَاأَوْقَالَحَتتّىيَتَفَرّقَافَاِنْصَدَقَوَبَيّنَابُورِكَلَهُمَافِيبَيْعِهِمَاوَإِنْكَتَمَاوَكَذَبَامُحِقَتْبَرَكَةُبَيْعِهِمَا
“Ada hadist yang semakna dari hadist Hakim bin Hizam, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, Dua orang yang berjual beli mempunyai hak pilih selagi belum berpisah, atau beliau bersabda, Hingga keduanya saling berpisah, jika keduanya saling jujur dan menjelaskan, maka keduanya saling menyembunyikan dan berdusta, maka barakah jual beli itu dihapuskan.
Adapun Ayat Al-quran yang Berkaitan dengan Jual Beli
Jual beli adalah perbuatan yang dihalalkan oleh Allah SWT. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-qur’an:
ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ
Artinya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS.Al-baqarah ayat 275).
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍۢ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًۭا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa’:29)
B. Syarat - syarat Jual Beli:
1. Adanya keridhaan antara penjual dan pembeli
2. Orang yang mengadakan transaksi jual beli seseorang yang dibolehkan untuk menggunakan harta. Yaitu seorang yang baligh, berakal, merdeka dan rasyiid (cerdik bukan idiot).
3. Penjual adalah seorang yang memiliki barang yang akan dijual atau yang menduduki kedudukan kepemilikkan, seperti seorang yang diwakilkan untuk menjual barang.
4. Barang yang dijual adalah barang yang mubah (boleh) untuk diambil manfaatnya, seperti menjual makanan dan minuman yang halal dan bukan barang yang haram seperti menjual khamr (minuman yang memabukkan), alat musik, bangkai, anjing, babi dan yang lainnya.
5. Barang yang dijual / dijadikan transaksi barang yang bias untuk diserahkan. Dikarenakan jika barang yang dijual tidak bias diserahkan kepada pembeli maka tidak sah jual belinya. Seperti menjual barang yang tidak ada. Karena termasuk jual beli gharar (penipuan). Seperti menjual ikan yang ada air, menjual burung yang masih terbang diudara.
6. Barang yang dijual sesuatu yang diketahui penjual dan pembeli, dengan melihatnya atau memberitahu sifat-sifat barang tersebut sehingga membedakan dengan yang lain. Dikarenakan ketidaktahuan barang yang ditransaksikan adalah bentuk dari gharar.
7. Harga barangnya diketahui, dengan bilangan nominal tertentu.
C. Rukun Jual Beli
Dalam jual beli itu terdapat rukunnya, yaitu: [9]
1. Penjual dan pembeli
- Berakal
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا... (النساء: 5)
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja...”
- Kehendak sendiri atau tanpa paksaan
- Tidak mubazir
- Baligh
2. Uang dan benda yang dibeli
- Suci
- ada manfaatnya
- barang itu dapat diserahkan (barangnya nyata)
- barang tersebut benar-benar milik sipenjual
لآَبَيْعَ إِلاَّفِيْمَا يُمْلَكَ (رواه ابوداودوالترمدى)
“Tidak sah jual beli kecuali barang yang dimiliki sendiri”. (H.R Abu Dawud dan Tirmidzi)
3. lapadz ijab qabul
إِنَّمَا الْبَيْعَ عَنْ تَرَاضٍ. (رواه إبن حبّان)
“Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika saling suka”. (H.R Ibnu Hibban)
Macam-Macam Jual Beli
Jual Beli ada tiga macam yaitu:
Menjual barang yang bisa dilihat: Hukumnya boleh / sah jika barang yang dijual suci, bermanfaat dan memenuhi rukun jual beli.
Menjual barang yang disifati (memesan barang): Hukumnya boleh / sah jika barang yang dijual sesuai dengan sifatnya (sesuai promo).
Menjual barang yang tidak kelihatan: Hukumnya tidak boleh / tidak sah. Boleh / sah menjual sesuatu yang suci dan bermanfaat dan tidak diperbolehkan / tidak sah menjual sesuatu yang najis dan tidak bermanfaat.
Pengertian Riba
Riba menurut bahasa adalah ziyadah, yaitu tambahan yang diminta atas utang pokok. Riba adalah kelebihan pembayaran yang dibebankan terhadap pinjaman pokok sebagai imbalan terkait jangka waktu pengembalian atas pinjaman itu. Ibn Hajar Askalani mengatakan bahwa, riba adalah kelebihan baik itu berupa kelebihan dalam bentuk barang maupun uang, seperti dua rupiah sebagai penukaran dengan satu rupiah. Peminjam akan membayar sejumlah lebih tinggi dari pinjaman yang telah diterima, karena adanya perbedaan antara waktu pada saat pinjaman dibayar. Perbedaan waktu akan berdampak pada perbedaan jumlah yang dipinjam dengan jumlah yang dikembalikan. Setiap tambahan yang diambil dari transaksi utang piutang bertentangan dengan prinsip islam.
Muslim:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالفِضَّةِ وَالبَرُّ بِالبَرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشّعِيرِوَالتَمْرُ بِالتَمْرِ وَالمِلْحُ بِالمِلْحِ مِثْلاً
بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَواسْتَزَادَ فَهُوَ الرِّبَا
Rasalullah bersabda:”Emas dengan emas sama timbangan dan ukurannya, perak dengan perak sama dengan timbangan dan ukurannya.Barang siapa minta tambah maka termasuk riba”.
Dala hadis tersebut dapat dipahami bahwa apabila tukar menukar emas atau perak harus sama ukuran dan timbangannya,jika tidak sama termasuk riba.Dari situ dapat dipahami bahwa riba adalah ziyadah atau tambahan.Dalam istilah liguistik riba berarti tumbuh dan membersar.Akan tetapi tidak semua tambahan adalah riba.Dalam istilah fiqih.riba adalah pengambilan tambahan dari jual beli maupunn pinjam meminjam.Dalam Hadis disebutkan jenis komoditas yang rentan riba,yaitu emas,perak,delai ,korma
Bukhori:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا اِلَّاهَاءَ وَ هَاءَ وَالبِرُّ بِالبِرِّ رِبًا اِلاَّ هَاءَ وَ هَاءَ وَ التَمْرُ بِالتَمْرِ رِبًا اِلاَّ هَاءَ وَ هَاءَ
وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ رِبًا اِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
Rosulullah bersabda: ”Emas dengan emas adalah riba kecuali sama, gandum putih dengan gandum putih adalah riba kecuali sama, kurma dengan kurma adalah riba kecuali sama, gandum merah dengan gandum merah adalah riba kecuali sama”.
Dari jenis yang disebutkan dalam hadis,muncul pertanyaan apakah hanya komoditas itu yang diharamkan?Dua diantaranya adalah emas dan perak mewakili komoditas uang,sedang yang lainnya mewakili kelompok bahan makanan.Menurut Hanafi dan Hambali,barang yang berpontensi terkena riba adalah semua barang yang dapat dijual,sedang menurut Syafi’i adalah barang yang dapat dimakan.Adapun Imam Malik berpendapat bahwa yang berpotensi terkena riba adalah barang yang dapat dimakan dan tahan lama,sedangkan ad-dzahiri membatasi hanya pada barang yang disebut dalam hadis.
Dalam konteks kekinian,tampaknya orang akan cenderung sepakat bahwa yang termasuk riba tidak terbatas pada komunitas yang termaktub dalam hadis,tetapi yang mempunyai karakter yang sama dengan komoditas dalam haadis,yaitu kebutuhan mendasar masyarakat,termasuk BBM.
Hadis tentang Larangan Riba
Riba Termasuk Dosa Besar
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah itu? Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan haq, memakan riba, makan harta anak yatim, kabur dari medan peperangan dan menuduh seorang wanita mu’min yang suci berbuat zina”. (Bukhari, Bab Ramyul Muhsanat, No. 6351)
Haramnya Menghalalkan Riba
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَقَالَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَيَبِيتَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى أَشَرٍ وَبَطَرٍ وَلَعِبٍ وَلَهْوٍ فَيُصْبِحُوا قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ بِاسْتِحْلَالِهِمْ الْمَحَارِمَ وَالْقَيْنَاتِ وَشُرْبِهِمْ الْخَمْرَ وَأَكْلِهِمْ الرِّبَا وَلُبْسِهِمْ الْحَرِيرَ
Dari Ibnu ‘Abbas dari Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Demi jiwa yang Muhammad berada ditanganNya, sungguh beberapa orang dari ummatku bermalam dengan bersuka ria, menyalahgunakan nikmat dan bermain-main, di pagi harinya mereka menjadi kera dan babi karena mereka menghalalkan yang haram, nyanyian, minum khamer, makan riba dan mengenakan sutera.” (Ahmad, bab Musnad Ibn Abbas, 21725 )
Riba lebih buruk dari 36 kali zina
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْظَلَةَ غَسِيلِ الْمَلَائِكَةِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً
Dari ‘Abdullah bin Hanzhalah, yang dimandikan oleh para malaikat, ia berkata; Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Satu dirham hasil riba yang dimakan seseorang sementara ia mengetahuinya, itu lebih buruk dari tigapuluh kali berzina.” (HR. Ahmad)
Jenis-Jenis Riba
Riba dilihat dari asal transaksinya dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu riba berasal dari transaksi utang piutang dan jual beli.
Riba dari utang piutang
Riba ini terjadi disebabkan adanya transaksi utang piutang antara dua belah pihak.Riba yang berasal dari utang piutang dibagi menjadi dua jenis yaitu riba qardh dan riba jahiliyah.
1). Riba Qardh
Riba qardh adalah tambahan atau kelebihan yang telah disyaratkan dalam perjanjian antara pihak pemberi pinjaman dan peminjam.Dalam perjanjian disebutkan bahwa pihak pemberi pinjaman meminta adanya tambahan sejumlah tertentu kepada pihak peminjam pada saat peminjam mengembalikan pinjamannya
2). Riba Jahiliyah
Riba jahiliyah merupakan riba yang timbul karena adanya keterlambatan pembayaran dari si peminjam sesuai dengan waktu pengembalian yang telah diperjanjikan.Peminjam akan membayar dengan jumlah ketentuan yang jumlahnya melebihi jumlah uang yang telah dipinjamnya apabila peminjam tidak mampu membayar pinjamannya sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjiakan.Kelebihan atas pokok pinjaman ini ditulis dalam perjanjian,sehingga mengikat pada pihak peminjam.
Riba dari transaksi jual beli
Riba bisa juga disebakan dari transaksi pertukaran barang atau jual beli.Riba berasal dari transaksi jual beli dibagi menjadi dua yaitu Riba Fadhl dan nasiah
1). Riba Fadhl
Riba Fadhl ialah pertukaran (jual beli) antara barang sejenis namun tidak memenuhi kriteria, yakni kriteria secara kuantitasnya (sawaan bi sawiin), kualitasnya (mitslan bi mitslin), dan penyerahannya yang tidak tunai atau spot (yadaan bi yadiin). Perkataan fadhl berarti kelebihan yang dikenakan dalam pertukaran atau penjualan barang yang sama jenisnya atau bentuknya.
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584)
2). Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah ialah kewajiban menanggung beban bagi salah seorang yang melakukan pertukaran, hanya karena berjalannya waktu. Menurut Ibnu Qayyum al-Jawziyya, riba nasi’ah adalah tambahan atas salah satu barang yang diutang, seperti orang yang berutang sekati kurma di musim dingin, dibayar kembali dengan satu setengah sekati kurma di musim panas.
An-Nasa’i:
لَا رِبَا اِلَا فِي النَسِيْئَهِ
Nabi SAW bersabda: “Tidak riba kecuali nasi’ah”
Hadis tersebut bukan berarti hanya riba nasi’ah yang diharamkan, semua riba haram. Asbabul wurudnya adalah nabi ditanya tentang pertukaran antara gandum dan syair, emas dan perak dengan pembayaran diakhirkan. Hadis ini lebih tepat jika dipahami bahwa riba nasi’ah adalah riba yang terberat dibandingkan riba lainnya. Hal ini sama dengan pernyataan “Tidak ada ulama di daerah ini kecuali Ahmad” padahal banyak ulama lain selain Ahmad, hanya saja Ahmad merupakan ulama yang paling disegani.
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua,yaitu riba utang piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi menjadi terbagi menjadi riba qordh dan jahiliyah ,sedangkan kelompok kedua ada dua macam,yaitu fadl dan nasi’ah .
Hukum Riba
Secara garis besar pandangan hukum riba ada dua kelompok:
Kelompok pertama:
Mengharamkan riba yang berlipat ganda/ad’afan muda’fa, karena yang diharamkan al-Quran adalah riba yang berlipat ganda saja, yakni riba nasi’ah, kemudian terbukti pula dengan hadis bahwa tidak ada riba kecuali nasi’ah. Karenanya, selain dari riba nasi’ah maka diperbolehkan. Dalam bahasa Inggris riba yang berlipat ganda (ad’afan muda’afa) disebut dengan usury, sedangkan riba yang tidak berlipat ganda disebut dengan interest. Contoh dari negara yang menganut pandangan ini ialah Malaysia. Oleh karenanya, pemungutan bunga di bank islam Malaysia diperbolehkan.
Kelompok kedua:
Mengharamkan riba, baik yang besar (usury) maupun kecil (interest). Pandangan ini berpendapat bahwa riba yang kecil atau yang besar itu sama saja, keduanya diharamkan. Riba yang besar atau berlipat ganda (ad’afan muda’fa) diharamkan karena dzatnya atau karena riba ini memang diharamkan. Sedangkan riba yang kecil diharamkan bukan karena riba ini memang sudah diharamkan melainkan karena sebab untuk menghindari riba yang lebih besar (haramun lilisyadzu dzariah). Dalam QS. Al-Baqarah 2: 275, riba sudah diharamkan secara umum baik yang besar maupun yang kecil. Dari asbabun nuzulnya diketahui bahwa ketika turun ayat tersebut telah terjadi praktik riba tidak saja yang besar tetapi juga yang kecil. Dan dalam hal ini berlaku kaidah al-Ibrah biumumi al-lafdzi la bi khusushi sabab.
Rabu, 11 Oktober 2017
Hadis tentang Etos Kerja dan Kewirausahaan
Pengertian Etos Kerja
Etos berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang artinya “watak, kepribadian, sikap atau karakter”. Etos kerja dapat di artikan sebagai sikap dan semangat yang ada pada diri individu atau kelompok bahkan masyarakat terhadap kerja. Dalam kamus besar bahasa Indonesia etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Kerja alam artian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi, intelektual dan fisik, maupun hal-hal yang berkaitan dengan keduniaan maupun keakhiratan.
Secara Terminologis kata etos, mengalami perubahan makna yang meluas. Digunakan dalam tiga pengertian berbeda yaitu, suatu aturan umum atau cara hidup, suatu tatanan aturan perilaku. Dalam pengertin lain etos dapat diartikan sebagai “thumuhat” yaitu berkehendak atau berkemauan yang disertai semangat yang tinggi dalam rangka mencapai cita-cita yang positif.
Etos kerja adalah hasil dari suatu keyakinan umat islam, bahwa kerja mempunyai kaitan dengan tujuan hidupnya yaitu memperoleh ridhonya. Islam adalah agama amal atau kinerja. Inti ajarannya adalah setiap hamba harus selalu mendekati dan berusaha memperoleh ridhonya melalui kerja atau amal soleh.
Hadits tentang Etos Kerja
Rasulullah SAW bersabda :
وَ عَنْ الزَبِرِ بْن العَوّامِ رَضِيَ اللّه عَنْه عَنْ النّبِي صَلي اللّه عَلَيه و سلمْ قل: لأِنْ يَأخُذْ اَحَدَكُمْ حَبْلهُ ,فَيَءْتِيَ بِخُزْمَةِ الحَطَبِ علي ظَهْرِ ,فيبييَعَهَا , فَيَكْفُ اللّه بِهَا وجْهَه , خَيْرٌ لَهُ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ النَا سَ اعْطوْ هُ أَوْ مَنَعُوْهُ ( رواه البخر(
Artinya : “ Dari Az Zubair bin Al Awwam RA. Dari Nabi SAW bersabda, “sekiranya seseorang dari kalian mengambil talinya pengikut untuk membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, lalu ia menjualnya, sehingga Allah menjaga wajahnya denganya, maka itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada manusia, entah mereka memberinya atau tidak.” (HR Bukhari).
Hadits ini menganjurkan seseorang untuk bekerja dalam rangka mencari rezeki walaupun hal itu memaksanya untuk bersusah payah, karena seseorang peminta-minta akan menyematkan kehinaan pula di wajahnya saat ia meminta-minta dan saat ia ditolak diberi apapun, dan perilaku tersebut juga akan menyulitkan kepada orang yang diminta saat ia harus memberi semua orang penggemis. Dengan bekerja kita menjaga kehormatan dan kemuliaan diri, memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa harus mengorbankan harga diri.
Rasulullah SAW bersabda :
اَلْيَدُالْعُلْيَاخَيْرُ مِنْ الَيدِالسُّفْلَى وَاْبْرَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غَنىِ وَمَنْ يَسْتَعْفَفْ مَعْفَةُ اللهِِ وَمَنْ يَّستَغْنىِ يُغْنِهِ الله وَعَنْ وَهَيْبٍ قَالَ اخَبَرَنَا هِشَامُ عَنْ عَبِيْ اَنْ أَبِيّ َهُرَيْرَهْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ الّنَبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذََا
Artinya :Nabi SAW bersabda : “ tangan yang di bawah . mulailah orang yang wajib keamu nafkah! Sebaiknya sedekah dari orang yang tidak mampu. Barang siapa yang memelihara diri sendiri(tidak meminta – minta ) maka Allah SWT akan memeliharanya barang siapa yang mencari kecukupan maka akan dicukupi oleh Allah SWT. “(HR Bukhari).
Maksud hadist diatas adalah tidak berarti membolehkan meminta –minta, akan tetapi motivasi muslim yang ingin berusaha dengan keras agar dapat menjadi tangan diatas yaitu orang yang mampu memberi dan membantu sesuatu pada orang lain dari hasil jerih payahnya. Seseorang akan dapat membantu sesama apabila dirinya telah kecukupan. Sesorang dapat dikatakan kekecukupan apabila mempunyai penghasilan yang lebih dan akan dapat penghasilan lebih jika berusaha keras dan baik. Karenanya dalam bekerja harus disertai dengan etos kerja tinggi.
Islam mencela orang yang mampu untuk bekerja dan memiliki badan yang sehat tetapi tidak mau berusaha keras. Seorang muslim harus dapat memanfaatkan karunia yang di berikan Allah kepada kita. Etos kerja tinggi merupakan cermin diri seorang muslim.
Konsep Dasar Kewirausahaan
Kewirausahaan merupakan ilmu yang mempelajari tentang nilai kemampuan, dan prilaku seseorang dalam menghadapi tantangan hidupnya. Unsur-unsur kewirausahaan meliputi motivasi, visi, komunikasi, optimism, dorongan semangat dan kemampuan memamfaatkan peluang.
Adapun entrepreneur adalah seseorang yang memiliki kombinasi unsur-unsur kewirausahaan (secara) internal, mengelola dan berani menangung resiko untuk memanfaatkan peluang usaha dan menciptakan sesuatu yang baru dengan ketermpilan yang dimiliki. Jadi, wirausahawa adalah seseorang yang berkemauan keras dalam melakukan tindakan yang bermanfaat untuk menjadi teladan hidup.
أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ
“Wahai Rasulullah, mata pencaharian (kasb) apakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi).” (HR. Ahmad 4: 141, hasan lighoirihi)
Nabi menyatakan bahwa usaha yang paling baik adalah berbuat sesuatu dengan tangannya sendiri dengan syarat jika dilakukan dengan baik dan jujur, kalimat amalu ar-rajuli biyadihi dalam hadis terbut yang berarti usaha seseorang dengan tangannya dapat dimaknai dengan wirausaha, karena dengan melakukan sesuatu dengan tangannya dan dapat memanfaatkan peluang dan kemampuan yang dimiliki. Maksudnya seseorang muslim hendaknya melakukan wirausaha dengan menciptakan sesuatu berdasarkan kemampuan yang dimiliki, berkarya tanpa henti untuk berinovasi, memanfaatkan peluang yang ada, agar mencapai keuntungan yang optimal.
Hadis yang di riwayatkan oleh Ahmad:
خَيْرُ الْكَسْبِ كَسْبِ يُدِالْعَامِلِ إدَا نَصَحَ
“usaha yang paling baik adalah hasil karya seseorang dengan tangannya jika ia jujur.”
Berdasarkan hadist di atas, usaha yang paling baik adalah berbuat sesuatu dengan tangannya sendiri dengan syarat jika dilakukan dengan baik dan jujur. Usaha dengan tangannya sendiri yang dimaksud diatas dapat di maknai sebagai wirausaha, karena dengan melakukan sesuatu seseorang dituntut dapat menciptakan sesuatu dan dapat memanfaatkan peluang yang dimilikinya.
D. Karakteristik Wirausaha, Tujuan, dan Produktivitas Kerja dalam Islam.
Berwirausaha mempunyai beberapa karakteristik yang menonjol, di antaranya adalah:
Proaktif, suka mencari informasi yang ada hubungannya dengan dunia yang digelutinya, agar mereka tidak ketinggalan informasi sehingga segala sesuatunya dapat disikapi dengan bijak dan tepat.
Produktif, mementingkan pengeluaran yang bersifat produktif daripada yang bersifat konsumtif merupakan kunci untuk sukses. Memperhitungkan dengan teliti, dan cermat dalam memutuskan pengeluaran uang untuk hal-hal yang produktif bisa menekan kecenderungan pada hal-hal yang bersifat kemewahan, dan gengsi yang tidak menghasilkan keuntungan.
Pemberdaya, memahami manajemen, menangani pekerjaan dengan membagi habis tugas dan memberdayakan orang lain dalam pembinaannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad SAW.“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya”.
Tangan di atas, setiap rezeki yang diterima harus ada sebagian yang dibagikan kepada orang-orang yang kurang beruntung yang diberikan secara ikhlas. Bagi para wirausaha tangan di atas (suka memberi) ini merupakan hal penting dalam hidupnya karena setiap pemberian yang ikhlas menambah kualitas dan kuantitas rezekinya dan hidupnya penuh berkah. Itulah yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW. dalam salah satu hadisnya “Tangan di atas lebih mulia dari tangan yang di bawah”.
Rendah hati, sejatinya menyadari keberhasilan yang dicapainya bukan sepenuhnya karena kehebatannya, tetapi ia sadar betul di samping upayanya yang sungguh-sungguh ia juga tidak terlepas dari pertolongan Allah, dan harus diyakini betul bagi para wirausaha muslim, sehingga akan selalu bersyukur dan tawadhu (rendah hati).
Kreatif, mampu menangkap dan menciptakan peluang-peluang bisnis yang bisa dikembangkan, sehingga ia tidak pernah khawatir kehabisan lahan bisnisnya.
Inovatif, sifat inovatif selalu mendorong kembali kegairahan untuk meraih kemajuan dalam berbisnis. Mampu melakukan pembaruan-pembaruan dalam menangani bisnis yang digelutinya, sehingga bisnis yang dilakukannya tidak pernah usang dan selalu dapat mengikuti perkembangan zaman.
Tujuan Bekerja Dalam Islam
Urusan dunia merupakan perkara yang paling banyak menyita perhatian umat manusia, sehingga mereka menjadi budak dunia, bahkan lebih parah lagi, sejumlah besar Umat Islam memandang bahwa berpegang dengan ajaran Islam akan mengurangi peluang mereka dalam mengais rizki. Ada sejumlah orang yang masih mau menjaga sebagian kewajiban syariat Islam tetapi mereka mengira bahwa jika ingin mendapat kemudahan di bidang materi dan kemapanan ekonomi hendaknya menutup mata dari sebagian aturan islam terutama yang berkenaan dengan etika bisnis dan hukum halal haram.
Islam tidak membiarkan seorang muslim kebingungan dalam berusaha mencari nafkah, bahkan telah memberikan solusi tuntas dan mengajarkan etika mulia agar mereka mencapai kesuksesan dalam mengais rizki dan membukakan pintu kemakmuran dan keberkahan.
Seluruh harta kekayaan milik Allah sementara manusia hanya sekedar sebagai pengelola, maka orang yang bertugas sebagai pengelola tidak berhak keluar dari aturan Pemilik harta (Allah), maka sungguh sangat menyedihkan bila terdapat sebagian orang yang berpacu untuk meraih kenikmatan dunia dengan menghabiskan seluruh waktunya, sementara mereka melupakan tujuan utama penciptaan, yaitu beribadah kepada-Nya sebagaimana firman Allah: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
Produktivitas Dalam Islam
“Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul Nya, serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan mu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Allah memberitakan kepada mu apa yang telah kamu kerjakan”. (Qur’an surah at Taubah ayat 105)
Islam sebagai pedoman hidup yang turun dari Sang Pencipta manusia, sangat menghargai bahkan amat mendorong produktivitas. Rosulullah saw. Bersabda:
عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُؤمِنَ الْمُحْتَـرِفَ
(Dari Ibnu ‘Umar ra dari Nabi saw, ia berkata: “Sesungguhnya Allah mencintai orang yang beriman yang berkarya (produktif menghasilkan berbagai kebaikan -pen)” H.R. Thabrani dalam Al Kabir, juga oleh Al Bayhaqi
عن عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ أمْسَى كَالاًّ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ أمْسَى مَـغْـفُوْرًا لَـهُ
Dan dari ‘Aisyah ra. Beliau berkata, telah berkarta Rosulullah saw “Barangsiapa yang disenjaharinya merasa letih karena bekerja (mencari nafkah) maka pada senja hari itu dia berada dalam ampunan Allah” H.R. At Thabrani dalam kitab Al Ausath.
Islam membenci pengangguran, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang shahabat Nabi saw, Ibnu Masud ra:
وعن ابن مسعود قال إني لأَكْرَهُ أنْ أرَى الرَّجُلَ فَارِغًا لاَ في عَمَلِ دُنْـيَا وَلاَ آخِرَةٍ
Sesungguhnya aku benci kepada seseorang yang menganggur, tidak bekerja untuk kepentingan dunia juga tidak untuk keuntungan akhirat. H.R. At Thabrani dalam kitab Al Kabir.
Bahkan Rosulullah menghargai seorang hamba yang sanggup mandiri, hidup dengan hasil kemampuannya sendiri:
حدثنا إبراهيم بن موسى أخبرنا عيسى عن ثور عن خالد بن معدان عن المقدام رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ثم ما أكل أحد طعاما قط خيرا من أن يأكل من عمل يده وإن نبي الله داود عليه السلام كان يأكل من عمل يده
Makanan yang terbaik yang dimakan seseorang adalah dari hasil karya tangannya sendiri dan sesungguhnya Nabi Dawud AS. Pun makan dari hasil kerjanya sendiri. (H.R. Bukhory : 1966)
Dalam keterangan lain, beliau menyebutkan bahwa sebaik baik usaha adalah apa yang merupakan ekspresi dari keterampilan dirinya, dan segenap tanggung jawab ekonomi yang dia berikan kepada ahli keluarganya, dinilai sebagai sedekah yang terus menerus menghasilkan pahala:
حدثنا هشام بن عمار ثنا إسماعيل بن عياش عن بجير بن سعد عن خالد بن معدان عن المقدام بن معد يكرب الزبيدي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال مَا كَسَبَ الرَّجُلُ كَسْبًا أطْيَبُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَمَا أنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى نَفْسِهِ وَأهْلِهِ وَوَلَدِهِ وَخَادِمِهِ فَهُوَ صَدَقَةٌ
Pekerjaan terbaik seseorang adalah apa yang dikerjakan berdasarkan keterampilannya, dan apapun yang dinafkahkan seseorang untuk dirinyaوkeluarganya, anaknya dan pembantunya adalah sedekah. H.R. Ibnu Majah.
إنَّ اللهَ يُحِبُّ المُـؤمِنَ الْمُحْتَرِفَ الضَّعِيْفَ الْمُتَعَفِفَ وَيَـبْـغَضُ السَّائِلَ الْمُلْحِفَ
Sesungguhnya Allah mencintai seorang beriman yang sekalipun lemah, tetapi ia produktif dan selalu menjaga harga dirinya (tidak mau meminta-minta) dan Allah membenci tukang peminta-minta yang pemaksa. Di dalam Tafsir Al Qurthubi Juz 11 hal 321.
Produktivitas itu tetap harus dipertahankan dalam segala situasi dan kondisi, dengan sebuah penggambaran yang ekstrim, bahkan sekalipun anda tahu besok akan kiamat, tidak boleh membuat kita tidak berkarya dan produktif hari ini. Sebagaimana sabda Rosulullah saw:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنْ قَامَتِ السَّاعَةِ وَفي يَدِ أحَدِكُمْ فَسِيْلَةٌ فَلْيَغْرِسْهَا
Andaipun besok kiamat, sedang di tangan salah seorang di antara kamu ada tunas pohon kurma, maka tanamlah ia ! H.R. Al Bazaar, rijalnya tsiqot.
Demikian besarnya penghargaan Islam atas produktivitas, sampai –sampai disebutkan dalam Al Hadits, bahwa produktivitas juga erat kaitannya dengan jalan untuk memperoleh pengampunan dari dosa-dosa, yang justru malah tidak akan bisa mendapatkan pengampunan dengan cara yang lainnya
Etos berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang artinya “watak, kepribadian, sikap atau karakter”. Etos kerja dapat di artikan sebagai sikap dan semangat yang ada pada diri individu atau kelompok bahkan masyarakat terhadap kerja. Dalam kamus besar bahasa Indonesia etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Kerja alam artian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi, intelektual dan fisik, maupun hal-hal yang berkaitan dengan keduniaan maupun keakhiratan.
Secara Terminologis kata etos, mengalami perubahan makna yang meluas. Digunakan dalam tiga pengertian berbeda yaitu, suatu aturan umum atau cara hidup, suatu tatanan aturan perilaku. Dalam pengertin lain etos dapat diartikan sebagai “thumuhat” yaitu berkehendak atau berkemauan yang disertai semangat yang tinggi dalam rangka mencapai cita-cita yang positif.
Etos kerja adalah hasil dari suatu keyakinan umat islam, bahwa kerja mempunyai kaitan dengan tujuan hidupnya yaitu memperoleh ridhonya. Islam adalah agama amal atau kinerja. Inti ajarannya adalah setiap hamba harus selalu mendekati dan berusaha memperoleh ridhonya melalui kerja atau amal soleh.
Hadits tentang Etos Kerja
Rasulullah SAW bersabda :
وَ عَنْ الزَبِرِ بْن العَوّامِ رَضِيَ اللّه عَنْه عَنْ النّبِي صَلي اللّه عَلَيه و سلمْ قل: لأِنْ يَأخُذْ اَحَدَكُمْ حَبْلهُ ,فَيَءْتِيَ بِخُزْمَةِ الحَطَبِ علي ظَهْرِ ,فيبييَعَهَا , فَيَكْفُ اللّه بِهَا وجْهَه , خَيْرٌ لَهُ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ النَا سَ اعْطوْ هُ أَوْ مَنَعُوْهُ ( رواه البخر(
Artinya : “ Dari Az Zubair bin Al Awwam RA. Dari Nabi SAW bersabda, “sekiranya seseorang dari kalian mengambil talinya pengikut untuk membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, lalu ia menjualnya, sehingga Allah menjaga wajahnya denganya, maka itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada manusia, entah mereka memberinya atau tidak.” (HR Bukhari).
Hadits ini menganjurkan seseorang untuk bekerja dalam rangka mencari rezeki walaupun hal itu memaksanya untuk bersusah payah, karena seseorang peminta-minta akan menyematkan kehinaan pula di wajahnya saat ia meminta-minta dan saat ia ditolak diberi apapun, dan perilaku tersebut juga akan menyulitkan kepada orang yang diminta saat ia harus memberi semua orang penggemis. Dengan bekerja kita menjaga kehormatan dan kemuliaan diri, memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa harus mengorbankan harga diri.
Rasulullah SAW bersabda :
اَلْيَدُالْعُلْيَاخَيْرُ مِنْ الَيدِالسُّفْلَى وَاْبْرَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غَنىِ وَمَنْ يَسْتَعْفَفْ مَعْفَةُ اللهِِ وَمَنْ يَّستَغْنىِ يُغْنِهِ الله وَعَنْ وَهَيْبٍ قَالَ اخَبَرَنَا هِشَامُ عَنْ عَبِيْ اَنْ أَبِيّ َهُرَيْرَهْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ الّنَبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذََا
Artinya :Nabi SAW bersabda : “ tangan yang di bawah . mulailah orang yang wajib keamu nafkah! Sebaiknya sedekah dari orang yang tidak mampu. Barang siapa yang memelihara diri sendiri(tidak meminta – minta ) maka Allah SWT akan memeliharanya barang siapa yang mencari kecukupan maka akan dicukupi oleh Allah SWT. “(HR Bukhari).
Maksud hadist diatas adalah tidak berarti membolehkan meminta –minta, akan tetapi motivasi muslim yang ingin berusaha dengan keras agar dapat menjadi tangan diatas yaitu orang yang mampu memberi dan membantu sesuatu pada orang lain dari hasil jerih payahnya. Seseorang akan dapat membantu sesama apabila dirinya telah kecukupan. Sesorang dapat dikatakan kekecukupan apabila mempunyai penghasilan yang lebih dan akan dapat penghasilan lebih jika berusaha keras dan baik. Karenanya dalam bekerja harus disertai dengan etos kerja tinggi.
Islam mencela orang yang mampu untuk bekerja dan memiliki badan yang sehat tetapi tidak mau berusaha keras. Seorang muslim harus dapat memanfaatkan karunia yang di berikan Allah kepada kita. Etos kerja tinggi merupakan cermin diri seorang muslim.
Konsep Dasar Kewirausahaan
Kewirausahaan merupakan ilmu yang mempelajari tentang nilai kemampuan, dan prilaku seseorang dalam menghadapi tantangan hidupnya. Unsur-unsur kewirausahaan meliputi motivasi, visi, komunikasi, optimism, dorongan semangat dan kemampuan memamfaatkan peluang.
Adapun entrepreneur adalah seseorang yang memiliki kombinasi unsur-unsur kewirausahaan (secara) internal, mengelola dan berani menangung resiko untuk memanfaatkan peluang usaha dan menciptakan sesuatu yang baru dengan ketermpilan yang dimiliki. Jadi, wirausahawa adalah seseorang yang berkemauan keras dalam melakukan tindakan yang bermanfaat untuk menjadi teladan hidup.
أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ
“Wahai Rasulullah, mata pencaharian (kasb) apakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi).” (HR. Ahmad 4: 141, hasan lighoirihi)
Nabi menyatakan bahwa usaha yang paling baik adalah berbuat sesuatu dengan tangannya sendiri dengan syarat jika dilakukan dengan baik dan jujur, kalimat amalu ar-rajuli biyadihi dalam hadis terbut yang berarti usaha seseorang dengan tangannya dapat dimaknai dengan wirausaha, karena dengan melakukan sesuatu dengan tangannya dan dapat memanfaatkan peluang dan kemampuan yang dimiliki. Maksudnya seseorang muslim hendaknya melakukan wirausaha dengan menciptakan sesuatu berdasarkan kemampuan yang dimiliki, berkarya tanpa henti untuk berinovasi, memanfaatkan peluang yang ada, agar mencapai keuntungan yang optimal.
Hadis yang di riwayatkan oleh Ahmad:
خَيْرُ الْكَسْبِ كَسْبِ يُدِالْعَامِلِ إدَا نَصَحَ
“usaha yang paling baik adalah hasil karya seseorang dengan tangannya jika ia jujur.”
Berdasarkan hadist di atas, usaha yang paling baik adalah berbuat sesuatu dengan tangannya sendiri dengan syarat jika dilakukan dengan baik dan jujur. Usaha dengan tangannya sendiri yang dimaksud diatas dapat di maknai sebagai wirausaha, karena dengan melakukan sesuatu seseorang dituntut dapat menciptakan sesuatu dan dapat memanfaatkan peluang yang dimilikinya.
D. Karakteristik Wirausaha, Tujuan, dan Produktivitas Kerja dalam Islam.
Berwirausaha mempunyai beberapa karakteristik yang menonjol, di antaranya adalah:
Proaktif, suka mencari informasi yang ada hubungannya dengan dunia yang digelutinya, agar mereka tidak ketinggalan informasi sehingga segala sesuatunya dapat disikapi dengan bijak dan tepat.
Produktif, mementingkan pengeluaran yang bersifat produktif daripada yang bersifat konsumtif merupakan kunci untuk sukses. Memperhitungkan dengan teliti, dan cermat dalam memutuskan pengeluaran uang untuk hal-hal yang produktif bisa menekan kecenderungan pada hal-hal yang bersifat kemewahan, dan gengsi yang tidak menghasilkan keuntungan.
Pemberdaya, memahami manajemen, menangani pekerjaan dengan membagi habis tugas dan memberdayakan orang lain dalam pembinaannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad SAW.“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya”.
Tangan di atas, setiap rezeki yang diterima harus ada sebagian yang dibagikan kepada orang-orang yang kurang beruntung yang diberikan secara ikhlas. Bagi para wirausaha tangan di atas (suka memberi) ini merupakan hal penting dalam hidupnya karena setiap pemberian yang ikhlas menambah kualitas dan kuantitas rezekinya dan hidupnya penuh berkah. Itulah yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW. dalam salah satu hadisnya “Tangan di atas lebih mulia dari tangan yang di bawah”.
Rendah hati, sejatinya menyadari keberhasilan yang dicapainya bukan sepenuhnya karena kehebatannya, tetapi ia sadar betul di samping upayanya yang sungguh-sungguh ia juga tidak terlepas dari pertolongan Allah, dan harus diyakini betul bagi para wirausaha muslim, sehingga akan selalu bersyukur dan tawadhu (rendah hati).
Kreatif, mampu menangkap dan menciptakan peluang-peluang bisnis yang bisa dikembangkan, sehingga ia tidak pernah khawatir kehabisan lahan bisnisnya.
Inovatif, sifat inovatif selalu mendorong kembali kegairahan untuk meraih kemajuan dalam berbisnis. Mampu melakukan pembaruan-pembaruan dalam menangani bisnis yang digelutinya, sehingga bisnis yang dilakukannya tidak pernah usang dan selalu dapat mengikuti perkembangan zaman.
Tujuan Bekerja Dalam Islam
Urusan dunia merupakan perkara yang paling banyak menyita perhatian umat manusia, sehingga mereka menjadi budak dunia, bahkan lebih parah lagi, sejumlah besar Umat Islam memandang bahwa berpegang dengan ajaran Islam akan mengurangi peluang mereka dalam mengais rizki. Ada sejumlah orang yang masih mau menjaga sebagian kewajiban syariat Islam tetapi mereka mengira bahwa jika ingin mendapat kemudahan di bidang materi dan kemapanan ekonomi hendaknya menutup mata dari sebagian aturan islam terutama yang berkenaan dengan etika bisnis dan hukum halal haram.
Islam tidak membiarkan seorang muslim kebingungan dalam berusaha mencari nafkah, bahkan telah memberikan solusi tuntas dan mengajarkan etika mulia agar mereka mencapai kesuksesan dalam mengais rizki dan membukakan pintu kemakmuran dan keberkahan.
Seluruh harta kekayaan milik Allah sementara manusia hanya sekedar sebagai pengelola, maka orang yang bertugas sebagai pengelola tidak berhak keluar dari aturan Pemilik harta (Allah), maka sungguh sangat menyedihkan bila terdapat sebagian orang yang berpacu untuk meraih kenikmatan dunia dengan menghabiskan seluruh waktunya, sementara mereka melupakan tujuan utama penciptaan, yaitu beribadah kepada-Nya sebagaimana firman Allah: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
Produktivitas Dalam Islam
“Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul Nya, serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan mu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Allah memberitakan kepada mu apa yang telah kamu kerjakan”. (Qur’an surah at Taubah ayat 105)
Islam sebagai pedoman hidup yang turun dari Sang Pencipta manusia, sangat menghargai bahkan amat mendorong produktivitas. Rosulullah saw. Bersabda:
عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُؤمِنَ الْمُحْتَـرِفَ
(Dari Ibnu ‘Umar ra dari Nabi saw, ia berkata: “Sesungguhnya Allah mencintai orang yang beriman yang berkarya (produktif menghasilkan berbagai kebaikan -pen)” H.R. Thabrani dalam Al Kabir, juga oleh Al Bayhaqi
عن عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ أمْسَى كَالاًّ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ أمْسَى مَـغْـفُوْرًا لَـهُ
Dan dari ‘Aisyah ra. Beliau berkata, telah berkarta Rosulullah saw “Barangsiapa yang disenjaharinya merasa letih karena bekerja (mencari nafkah) maka pada senja hari itu dia berada dalam ampunan Allah” H.R. At Thabrani dalam kitab Al Ausath.
Islam membenci pengangguran, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang shahabat Nabi saw, Ibnu Masud ra:
وعن ابن مسعود قال إني لأَكْرَهُ أنْ أرَى الرَّجُلَ فَارِغًا لاَ في عَمَلِ دُنْـيَا وَلاَ آخِرَةٍ
Sesungguhnya aku benci kepada seseorang yang menganggur, tidak bekerja untuk kepentingan dunia juga tidak untuk keuntungan akhirat. H.R. At Thabrani dalam kitab Al Kabir.
Bahkan Rosulullah menghargai seorang hamba yang sanggup mandiri, hidup dengan hasil kemampuannya sendiri:
حدثنا إبراهيم بن موسى أخبرنا عيسى عن ثور عن خالد بن معدان عن المقدام رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ثم ما أكل أحد طعاما قط خيرا من أن يأكل من عمل يده وإن نبي الله داود عليه السلام كان يأكل من عمل يده
Makanan yang terbaik yang dimakan seseorang adalah dari hasil karya tangannya sendiri dan sesungguhnya Nabi Dawud AS. Pun makan dari hasil kerjanya sendiri. (H.R. Bukhory : 1966)
Dalam keterangan lain, beliau menyebutkan bahwa sebaik baik usaha adalah apa yang merupakan ekspresi dari keterampilan dirinya, dan segenap tanggung jawab ekonomi yang dia berikan kepada ahli keluarganya, dinilai sebagai sedekah yang terus menerus menghasilkan pahala:
حدثنا هشام بن عمار ثنا إسماعيل بن عياش عن بجير بن سعد عن خالد بن معدان عن المقدام بن معد يكرب الزبيدي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال مَا كَسَبَ الرَّجُلُ كَسْبًا أطْيَبُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَمَا أنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى نَفْسِهِ وَأهْلِهِ وَوَلَدِهِ وَخَادِمِهِ فَهُوَ صَدَقَةٌ
Pekerjaan terbaik seseorang adalah apa yang dikerjakan berdasarkan keterampilannya, dan apapun yang dinafkahkan seseorang untuk dirinyaوkeluarganya, anaknya dan pembantunya adalah sedekah. H.R. Ibnu Majah.
إنَّ اللهَ يُحِبُّ المُـؤمِنَ الْمُحْتَرِفَ الضَّعِيْفَ الْمُتَعَفِفَ وَيَـبْـغَضُ السَّائِلَ الْمُلْحِفَ
Sesungguhnya Allah mencintai seorang beriman yang sekalipun lemah, tetapi ia produktif dan selalu menjaga harga dirinya (tidak mau meminta-minta) dan Allah membenci tukang peminta-minta yang pemaksa. Di dalam Tafsir Al Qurthubi Juz 11 hal 321.
Produktivitas itu tetap harus dipertahankan dalam segala situasi dan kondisi, dengan sebuah penggambaran yang ekstrim, bahkan sekalipun anda tahu besok akan kiamat, tidak boleh membuat kita tidak berkarya dan produktif hari ini. Sebagaimana sabda Rosulullah saw:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنْ قَامَتِ السَّاعَةِ وَفي يَدِ أحَدِكُمْ فَسِيْلَةٌ فَلْيَغْرِسْهَا
Andaipun besok kiamat, sedang di tangan salah seorang di antara kamu ada tunas pohon kurma, maka tanamlah ia ! H.R. Al Bazaar, rijalnya tsiqot.
Demikian besarnya penghargaan Islam atas produktivitas, sampai –sampai disebutkan dalam Al Hadits, bahwa produktivitas juga erat kaitannya dengan jalan untuk memperoleh pengampunan dari dosa-dosa, yang justru malah tidak akan bisa mendapatkan pengampunan dengan cara yang lainnya
Hadis tentang Nilai Harta
Penghargaan Terhadap Harta
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَحْوَلِ يَعْنِي سُلَيْمَانَ بْنَ أَبِي مُسْلِمٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ يَتَهَجَّدُ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيَّامُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ حَقٌّ وَوَعْدُكَ حَقٌّ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ وَالسَّاعَةُ حَقٌّ وَالنَّبِيُّونَ حَقٌّ وَمُحَمَّدٌ حَقٌّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَبِكَ آمَنْتُ
Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa'id dia berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Al Ahwal Sulaiman bin Abu Muslim dari Thawus dari Ibnu 'Abbas dia berkata; "Apabila Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam bangun malam, maka beliau mengerjakan shalat tahajjud. Beliau mengucapkan: 'Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Engkaulah (pemberi) cahaya langit dan bumi serta penghuninya. Segala puji bagi-Mu, Engkau pengatur langit dan bumi serta penghuninya. Segala puji bagi-Mu, Engkaulah penguasa langit dan bumi serta penghuninya. Segala puji bagi-Mu, Engkau benar, dan janji-Mu benar, surga itu benar, neraka itu benar, hari Kiamat itu benar, para nabi itu benar, dan Muhammad itu benar. Kepada-Mulah aku memasrahkan diri dan kepada Engkau aku bertawakal. Kepada Engkaulah aku beriman.” (HR. An-Nasa’i No. 1601)
Maksud dari hadits di atas bahwa harta atau kepemilikan mutlak hanya milik Allah. Sesungguhnya segala sesuatu yang ada di bumi adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Manusia diberi tanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang ada di bumi.
Dalam menjalankan tugasnya, manusia mendapatkan kekayaan yang menjadi miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri beserta keluarganya dan sebagian lagi untuk kepentingan masyarakat. Meskipun ia memiliki tapi tidak boleh merusak ataupun menelantarkannya, mengingat kepemilikan ini adalah amanah dari Allah SWT.
قَال سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Tidak boleh iri (dengki) kecuali kepada dua hal. (Yaitu kepada) seorang yang Allah berikan kepadanya harta lalu dia menguasainya dan membelanjakannya di jalan yang haq (benar) dan seorang yang Allah berikan hikmah (ilmu) lalu dia melaksanakannya dan mengajarkannya (kepada orang lain).” (HR. Bukhari No. 1320)
Meskipun kepemilikan yang ada pada manusia bersifat sementara, di dalamnya terdapat kewajiban yang harus dipenuhi jika sampai pada batas tertentu mengeluarkan zakat. Pada hakikatnya, setiap harta yang dimiliki manusia mengandung hak dari orang lain. Oleh karena itu, setiap muslim wajib mengeluarkan zakat. Pada waktu tertentu, kepemilikan tersebut juga harus diwariskan kepada sanak saudara, atau dapat juga dipindah tangankan menjadi wakaf.
Zakat
Pengertian Zakat
Zakat ditinjau dari segi bahasa berarti suci, tumbuh, berkah, dan terpuji. Sedangkan menurut istilah zakat diartikan sebagai hak yang wajib (dikeluarkan dari) harta.
Allah berfirman dalam surat at-Taubah ayat 103 sebagai berikut:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah (9):103)
Tujuan dikeluarkannya zakat yaitu untuk membersihkan harta. Zakat merupakan ibadah yang mengandung dua dimensi yaitu hablum minallah dan hablum minannas. Tujuan dikeluarkannya zakat yaitu untuk membersihkan harta. Zakat merupakan ibadah yang mengandung dua dimensi yaitu hablum minallah dan hablum minannas.
Macam-Macam Zakat
Secara umum zakat dibagi menjadi dua macam, yaitu zakat fitrah dan zakat maal. Zakat fitrah atau zakat nafs (jiwa) adalah zakat yang dikeluarkan dengan tujuan untuk mengembalikan umat muslim kembali kepada fitrahnya, maksutnya adalah untuk membersihkan manusia dari dosa-dosa. Yang dijadikan untuk zakat fitrah adalah bahan makanan pokok di daerah tempat tinggal seperti beras, jagung, gandum, dan lain-lain.
Zakat maal atau zakat harta adalah zakat yang dikenakan atas harta (maal) yang dimiliki seseorang atau lembaga dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya yaitu sebagai berikut:
Zakat emas dan perak
عَائِشَةَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ كُلِّ عِشْرِينَ دِينَارًا فَصَاعِدًا نِصْفَ دِينَارٍ وَمِنْ الْأَرْبَعِينَ دِينَارًا دِينَارًا
“Aisyah berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengambil zakat dari setiap dua puluh dinar lebih sebanyak setengah dinar, dan dari empat puluh dinar sebanyak satu dinar.” (HR. Ibnu Majah No. 1781)
Dari hadis tersebut diketahui bahwa nishab kekayaan uang 20 dinar (± 85 gram emas, sebagian ulama menyatakan nishab emas sebesar 93,6 gram), sedangkan nishab perak adalah 5 awaq (595 gram perak) dan zakatnya adalah 2,5%.
Hewan ternak (kambing, sapi dan unggas)
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي ثَلَاثِينَ مِنْ الْبَقَرِ تَبِيعٌ أَوْ تَبِيعَةٌ وَفِي أَرْبَعِينَ مُسِنَّةٌ
“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap tiga puluh ekor sapi zakatnya adalah seekor anak sapi yang berumur satu tahun. Dan pada setiap empat puluh ekor sapi zakatnya adalah seekor anak sapi yang masuk pada umur dua tahun.” (HR. Ibnu Majah No. 1794)
Mengenai nishab peternakan unggas tidak sesuaikan dengan jumlah ternaknya. Nishab zakat ternak unggas dan perikanan yaitu setara dengan 85 gram emas maka berkewajiban mengeluarkan zakat sebesar 2,5%. Dengan demikian, zakat peternakan unggas dapat digolongkan menjadi zakat perniagaan.
Zakat hasil pertanian
Nishab zakat hasil pertanian adalah 5 wasaq yang setara dengan 653 kg gabah atau 520 kg beras. Jika pertanian di airi dengan air hujan, maka kadar zakatnya adalah 10%. Jika di airi dengan sistem irigasi, maka kadar zakatnya adalah 5%.
Hasil tambang dan barang temuan (rikaz)
Hasil tambang wajib dikeluarkan zakatnya setelah diolah (produk jadi), jika zakat lainnya menunggu haul (satu tahun) maka zakat hasil tambang tidak perlu menunggu satu tahun, asalkan telah mencapai nishab. Nishab hasil tambang sama dengan nishab emas (85 gram) dan perak (672 gram), kadarnya juga sama yaitu 2,5%.
Adapun nishab harta rikaz tidak terbatas, kadar zakat harta rikaz adalah seperlima dari harta tersebut atau sebesar 20%. Rikaz wajib dikeluarkan saat menemukan harta tersebut.
Zakat profesi
Zakat profesi termasuk dalam kategori zakat maal. Menurut Yusuf Qardhawi, yang termasuk al-maal al-mustafad adalah kekayaan yang diperoleh oleh seorang muslim melalui bentuk usaha yang sesuai dengan syariat agama. Hasil profesi yang berupa harta dikategorikan berdasarkan qiyas atas kemiripan (syabbah), terdapat karakteristik zakat harta yang telah ada yaitu bentuk harta yang diterima sebagai penghasilan berupa uang yang nishabnya senilai 520 kg beras diqiyaskan dengan zakat pertanian, sedangkan jika nishabnya senilai dengan 85 gram emas maka diqiyaskan dengan zakat emas yang besarnya senilai 2,5%.
Infaq
Infaq berasal dari kata nafaqa yang berarti sesuatu yang telah berlalu atau habis. Sedangkan secara istilah infaq diartikan sebagai mengeluarkan sebagian dari harta pendapatan atau penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperuntukkan ajaran Islam. Jika zakat ada nishabnya, maka infaq tidak mengenal nishab.
حَدَّثَنَا يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ أَنْبَأَنَا هِشَامٌ عَنْ وَاصِلٍ عَنِ الْوَلِيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عِيَاضِ بْنِ غُطَيْفٍ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى أَبِي عُبَيْدَةَ نَعُوْدُهُ قَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص.م يَقُوْلُ مَنْ اَنْفَقَ نَفَقَةً فَاضِلَةً فِي سَبِيْلِ اللهِ فَبِسَبْعٍ مِائَةٍ وَمَنْ اَنْفَقَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْعَلَى أَهْلِهِ أَوْعَادَ مَرِيْضًا أَوْمَازَ أَذًى عَنْ طَرِيْقٍ فَهِيَ حَسَنَةٌ بِعَشْرِ اَمْثَالِهَا
“Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa menafkahkan hartanya di luar kebutuhannya di jalan Allah, maka ditulis tujuh ratus cabang. Barang siapa menafkahkan hartanya untuk dirinya atau keluarganya atau menjenguk yang sakit, atau menyingkirkan sesuatu yang membahayakan di jalan, maka baginya sepuluh kebaikan.”
Zakat dan infaq merupakan kewajiban yang harus dikeluarkan atas keakayaan. Bedanya, jika zakat berdasarkan ketentuan, kadar dan jenis tertentu, maka infaq tidak ada ketentuan khusus, tetapi berdasarkan kepentingan kemaslahatan umum.
Sedekah
Sedekah adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain yang membutuhkan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedekah berasal dari kata shidqun yang berarti benar dalam hubungannya dengan perkataan, keyakinan, dan perbuatan.
Anjuran untuk mengeluarkan shadaqah terdapat dalam firman Allah surat al-Munafiquun ayat 10 sebagai berikut:
وَأَنفِقُوا مِن مَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?.” (QS. Al-Munafiquun (63): 10)
Selain itu dalam hadits juga disebutkan anjuran untuk bersedekah sebagai berikut:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ
تَابَعَهُ سُلَيْمَانُ عَنْ ابْنِ دِينَارٍ وَقَالَ وَرْقَاءُ عَنْ ابْنِ دِينَارٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَوَاهُ مُسْلِمُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ وَزَيْدُ
Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam telah bersabda: "Barangsiapa yang bershadaqah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kananNya lalu mengasuhnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh anak kudanya hingga membesar seperti gunung". Hadits ini juga dikuatkan oleh Sulaiman dari Ibnu Dinar dan berkata, Warqa' dari Ibnu Dinar dari Sa'id bin Yasar dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam. Dan diriwayatkanoleh Muslim bin Abu Maryam dan Zaid bin Aslam dan Suhail dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam.(HR. Bukhari No. 1321)
Allah menjamin orang-orang yang membelanjakan hartanya dengan ikhlas, dan mereka akan mendapatkan pahala sesuai dengan apa yang dikeluarkannya. Dengan bersedekah harta tidak akan berkurang, tetapi akan bertambah di mata Allah.
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَحْوَلِ يَعْنِي سُلَيْمَانَ بْنَ أَبِي مُسْلِمٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ يَتَهَجَّدُ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيَّامُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ حَقٌّ وَوَعْدُكَ حَقٌّ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ وَالسَّاعَةُ حَقٌّ وَالنَّبِيُّونَ حَقٌّ وَمُحَمَّدٌ حَقٌّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَبِكَ آمَنْتُ
Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa'id dia berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Al Ahwal Sulaiman bin Abu Muslim dari Thawus dari Ibnu 'Abbas dia berkata; "Apabila Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam bangun malam, maka beliau mengerjakan shalat tahajjud. Beliau mengucapkan: 'Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Engkaulah (pemberi) cahaya langit dan bumi serta penghuninya. Segala puji bagi-Mu, Engkau pengatur langit dan bumi serta penghuninya. Segala puji bagi-Mu, Engkaulah penguasa langit dan bumi serta penghuninya. Segala puji bagi-Mu, Engkau benar, dan janji-Mu benar, surga itu benar, neraka itu benar, hari Kiamat itu benar, para nabi itu benar, dan Muhammad itu benar. Kepada-Mulah aku memasrahkan diri dan kepada Engkau aku bertawakal. Kepada Engkaulah aku beriman.” (HR. An-Nasa’i No. 1601)
Maksud dari hadits di atas bahwa harta atau kepemilikan mutlak hanya milik Allah. Sesungguhnya segala sesuatu yang ada di bumi adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Manusia diberi tanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang ada di bumi.
Dalam menjalankan tugasnya, manusia mendapatkan kekayaan yang menjadi miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri beserta keluarganya dan sebagian lagi untuk kepentingan masyarakat. Meskipun ia memiliki tapi tidak boleh merusak ataupun menelantarkannya, mengingat kepemilikan ini adalah amanah dari Allah SWT.
قَال سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Tidak boleh iri (dengki) kecuali kepada dua hal. (Yaitu kepada) seorang yang Allah berikan kepadanya harta lalu dia menguasainya dan membelanjakannya di jalan yang haq (benar) dan seorang yang Allah berikan hikmah (ilmu) lalu dia melaksanakannya dan mengajarkannya (kepada orang lain).” (HR. Bukhari No. 1320)
Meskipun kepemilikan yang ada pada manusia bersifat sementara, di dalamnya terdapat kewajiban yang harus dipenuhi jika sampai pada batas tertentu mengeluarkan zakat. Pada hakikatnya, setiap harta yang dimiliki manusia mengandung hak dari orang lain. Oleh karena itu, setiap muslim wajib mengeluarkan zakat. Pada waktu tertentu, kepemilikan tersebut juga harus diwariskan kepada sanak saudara, atau dapat juga dipindah tangankan menjadi wakaf.
Zakat
Pengertian Zakat
Zakat ditinjau dari segi bahasa berarti suci, tumbuh, berkah, dan terpuji. Sedangkan menurut istilah zakat diartikan sebagai hak yang wajib (dikeluarkan dari) harta.
Allah berfirman dalam surat at-Taubah ayat 103 sebagai berikut:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah (9):103)
Tujuan dikeluarkannya zakat yaitu untuk membersihkan harta. Zakat merupakan ibadah yang mengandung dua dimensi yaitu hablum minallah dan hablum minannas. Tujuan dikeluarkannya zakat yaitu untuk membersihkan harta. Zakat merupakan ibadah yang mengandung dua dimensi yaitu hablum minallah dan hablum minannas.
Macam-Macam Zakat
Secara umum zakat dibagi menjadi dua macam, yaitu zakat fitrah dan zakat maal. Zakat fitrah atau zakat nafs (jiwa) adalah zakat yang dikeluarkan dengan tujuan untuk mengembalikan umat muslim kembali kepada fitrahnya, maksutnya adalah untuk membersihkan manusia dari dosa-dosa. Yang dijadikan untuk zakat fitrah adalah bahan makanan pokok di daerah tempat tinggal seperti beras, jagung, gandum, dan lain-lain.
Zakat maal atau zakat harta adalah zakat yang dikenakan atas harta (maal) yang dimiliki seseorang atau lembaga dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya yaitu sebagai berikut:
Zakat emas dan perak
عَائِشَةَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ كُلِّ عِشْرِينَ دِينَارًا فَصَاعِدًا نِصْفَ دِينَارٍ وَمِنْ الْأَرْبَعِينَ دِينَارًا دِينَارًا
“Aisyah berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengambil zakat dari setiap dua puluh dinar lebih sebanyak setengah dinar, dan dari empat puluh dinar sebanyak satu dinar.” (HR. Ibnu Majah No. 1781)
Dari hadis tersebut diketahui bahwa nishab kekayaan uang 20 dinar (± 85 gram emas, sebagian ulama menyatakan nishab emas sebesar 93,6 gram), sedangkan nishab perak adalah 5 awaq (595 gram perak) dan zakatnya adalah 2,5%.
Hewan ternak (kambing, sapi dan unggas)
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي ثَلَاثِينَ مِنْ الْبَقَرِ تَبِيعٌ أَوْ تَبِيعَةٌ وَفِي أَرْبَعِينَ مُسِنَّةٌ
“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap tiga puluh ekor sapi zakatnya adalah seekor anak sapi yang berumur satu tahun. Dan pada setiap empat puluh ekor sapi zakatnya adalah seekor anak sapi yang masuk pada umur dua tahun.” (HR. Ibnu Majah No. 1794)
Mengenai nishab peternakan unggas tidak sesuaikan dengan jumlah ternaknya. Nishab zakat ternak unggas dan perikanan yaitu setara dengan 85 gram emas maka berkewajiban mengeluarkan zakat sebesar 2,5%. Dengan demikian, zakat peternakan unggas dapat digolongkan menjadi zakat perniagaan.
Zakat hasil pertanian
Nishab zakat hasil pertanian adalah 5 wasaq yang setara dengan 653 kg gabah atau 520 kg beras. Jika pertanian di airi dengan air hujan, maka kadar zakatnya adalah 10%. Jika di airi dengan sistem irigasi, maka kadar zakatnya adalah 5%.
Hasil tambang dan barang temuan (rikaz)
Hasil tambang wajib dikeluarkan zakatnya setelah diolah (produk jadi), jika zakat lainnya menunggu haul (satu tahun) maka zakat hasil tambang tidak perlu menunggu satu tahun, asalkan telah mencapai nishab. Nishab hasil tambang sama dengan nishab emas (85 gram) dan perak (672 gram), kadarnya juga sama yaitu 2,5%.
Adapun nishab harta rikaz tidak terbatas, kadar zakat harta rikaz adalah seperlima dari harta tersebut atau sebesar 20%. Rikaz wajib dikeluarkan saat menemukan harta tersebut.
Zakat profesi
Zakat profesi termasuk dalam kategori zakat maal. Menurut Yusuf Qardhawi, yang termasuk al-maal al-mustafad adalah kekayaan yang diperoleh oleh seorang muslim melalui bentuk usaha yang sesuai dengan syariat agama. Hasil profesi yang berupa harta dikategorikan berdasarkan qiyas atas kemiripan (syabbah), terdapat karakteristik zakat harta yang telah ada yaitu bentuk harta yang diterima sebagai penghasilan berupa uang yang nishabnya senilai 520 kg beras diqiyaskan dengan zakat pertanian, sedangkan jika nishabnya senilai dengan 85 gram emas maka diqiyaskan dengan zakat emas yang besarnya senilai 2,5%.
Infaq
Infaq berasal dari kata nafaqa yang berarti sesuatu yang telah berlalu atau habis. Sedangkan secara istilah infaq diartikan sebagai mengeluarkan sebagian dari harta pendapatan atau penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperuntukkan ajaran Islam. Jika zakat ada nishabnya, maka infaq tidak mengenal nishab.
حَدَّثَنَا يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ أَنْبَأَنَا هِشَامٌ عَنْ وَاصِلٍ عَنِ الْوَلِيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عِيَاضِ بْنِ غُطَيْفٍ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى أَبِي عُبَيْدَةَ نَعُوْدُهُ قَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص.م يَقُوْلُ مَنْ اَنْفَقَ نَفَقَةً فَاضِلَةً فِي سَبِيْلِ اللهِ فَبِسَبْعٍ مِائَةٍ وَمَنْ اَنْفَقَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْعَلَى أَهْلِهِ أَوْعَادَ مَرِيْضًا أَوْمَازَ أَذًى عَنْ طَرِيْقٍ فَهِيَ حَسَنَةٌ بِعَشْرِ اَمْثَالِهَا
“Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa menafkahkan hartanya di luar kebutuhannya di jalan Allah, maka ditulis tujuh ratus cabang. Barang siapa menafkahkan hartanya untuk dirinya atau keluarganya atau menjenguk yang sakit, atau menyingkirkan sesuatu yang membahayakan di jalan, maka baginya sepuluh kebaikan.”
Zakat dan infaq merupakan kewajiban yang harus dikeluarkan atas keakayaan. Bedanya, jika zakat berdasarkan ketentuan, kadar dan jenis tertentu, maka infaq tidak ada ketentuan khusus, tetapi berdasarkan kepentingan kemaslahatan umum.
Sedekah
Sedekah adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain yang membutuhkan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedekah berasal dari kata shidqun yang berarti benar dalam hubungannya dengan perkataan, keyakinan, dan perbuatan.
Anjuran untuk mengeluarkan shadaqah terdapat dalam firman Allah surat al-Munafiquun ayat 10 sebagai berikut:
وَأَنفِقُوا مِن مَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?.” (QS. Al-Munafiquun (63): 10)
Selain itu dalam hadits juga disebutkan anjuran untuk bersedekah sebagai berikut:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ
تَابَعَهُ سُلَيْمَانُ عَنْ ابْنِ دِينَارٍ وَقَالَ وَرْقَاءُ عَنْ ابْنِ دِينَارٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَوَاهُ مُسْلِمُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ وَزَيْدُ
Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam telah bersabda: "Barangsiapa yang bershadaqah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kananNya lalu mengasuhnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh anak kudanya hingga membesar seperti gunung". Hadits ini juga dikuatkan oleh Sulaiman dari Ibnu Dinar dan berkata, Warqa' dari Ibnu Dinar dari Sa'id bin Yasar dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam. Dan diriwayatkanoleh Muslim bin Abu Maryam dan Zaid bin Aslam dan Suhail dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam.(HR. Bukhari No. 1321)
Allah menjamin orang-orang yang membelanjakan hartanya dengan ikhlas, dan mereka akan mendapatkan pahala sesuai dengan apa yang dikeluarkannya. Dengan bersedekah harta tidak akan berkurang, tetapi akan bertambah di mata Allah.
Rabu, 04 Oktober 2017
HADIS TENTANG NILAI-NILAI DASAR EKONOMI
A. Pengertian Ekonomi Islam
Ekonomi Islam adalah kumpulan norma hukum yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis yang mengatur urusan perekonomian umat
manusia.[1]
Ekonomi Islam bukan hanya ekspresi syariah yang memberikan eksistensi sistem
Islam di tengah-tengah eksistensi berbagai sistem ekonomi modern. Tapi sistem
ekonomi Islam lebih sebagai pandangan Islam yang kompleks hasil ekpresi akidah
Islam dengan nuansa yang luas dan target yang jelas. Ekspresi akidah melahirkan
corak pemikiran dan metode aplikasinya, baik dalam konteks undang-undang
kemasyarakatan, perpolitikan, atau perekonomian.[2]
Tujuan ekonomi Islam menggunakan pendekatan antara
lain:
a)
Konsumsi manusia dibatasi sampai pada tingkat yang
dibutuhkan dan bermaanfaat bagi kehidupan manusia.
b)
Alat pemuas kebutuhan manusia seimbang dengan tingkat
kualitas manusia agar ia mampu meningkatkan kecerdasan dan kemampuan
teknologinya guna menggali sumber-sumber alam yang masih terpendam.
c)
Dalam penngaturan distribusi dan sirkulasi barang dan
jasa, nilai-nilai moral harus diterapkan.
d) Pemerataan
pendapatan dilakukan dengan mengingat sumber kekayaan seseorang yang diperoleh
dari usaha halal, maka zakat sebagai sarana distribusi pendapatan merupakan
sarana yang ampuh.[3]
Tiga asas filsafat hukum dalam ekonomi Islam yaitu sebagai
berikut:
1)
Semua yang ada di alam semesta, langit, bumi, serta
sumber-sumber alam lainnya, bahkan harta kekayaan yang dikuasai oleh manusia
adalah milik Allah, karena dialah yang menciptakannya. Semua ciptaan Allah itu
tunduk kepada kehendak dan ketentuannya (QS. Thahaa ayat 6 dan QS. Al-Maidah
ayat 120). Manusia sebagai khalifah berhak mengurus dan memanfaatkan alam
semesta itu untuk kelangsungan hidup dan kehidupan manusia dan lingkungannya.
2)
Allah menciptakan manusia sebagai khalifah dengan alat
perlengkapan yang sempurna, agar ia mampu melaksanakan tugas, hak dan
kewajibannya di bumi. Semua makhluk lain terutama flora dan fauna diciptakan
Allah untuk manusia, agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup manusia
dan kehidupannya (QS. Luqman ayat 20, QS. An-Nahl ayat 10-16, QS. Fathir ayat
27-28, QS. Az-Zumar ayat 21).
3)
Beriman kepada hari kiamat dan hari pengadilan.
Keyakinan pada hari kiamat merupakan asas penting dalam sistem ekonomi Islam,
karena dengan keyakinan itu, tingkah laku ekonomi manusia akan dapat
terkendali, sebab ia sadar bahwa semua perbuatannya termasuk tindakan
ekonominya akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah. Pertanggungjawaban
itu tidak hanya mengenai tingkah laku ekonominya saja, tetapi juga mengenai
harta kekayaan yang diamanatkan Allah kepada manusia.[4]
B. Hakikat
dan Dasar Ekonomi Islam
Ekonomi
Islam pada hakikatnya adalah upaya pengalokasian sumber daya yang ada untuk
memproduksi barang dan jasa sesuai dengan petunjuk Allah SWT.
Sebagai
suatu sistem, ekonomi Islam menarik di kaji karena (1) Diharapkan dapat
memecahkan masalah-masalah yang melanda ekonomi dunia, (2) Ekonomi Islam
sebagai suatu sistem adalah cabang ilmu pengetahuan yang dijiwai oleh ajaran
agama Islam (Mimbar Ummi, 1982:15).[5]
Nilai-nilai dasar dan hadis tentang ekonomi Islam,
diantaranya sebagai berikut.
1.
Pemilikan
َدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ خِرَاشِ بْنِ حَوْشَبٍ الشَّيْبَانِيُّ
عَنْ الْعَوَّام بْنِ حَوْشَبٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي
ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ قَالَ أَبُو
سَعِيدٍ يَعْنِي الْمَاءَ الْجَارِي
Telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Sa'id berkata, telah menceritakan kepada
kami Abdullah
bin Khirasy bin Hausyab Asy Syaibani dari Al Awwam bin Hausyab dari Mujahid
dari Ibnu Abbas ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api.
Dan harganya adalah haram." Abu Sa'id berkata, "Yang dimaksud adalah
air yang mengalir." (HR. Ibnu Majah)
Menurut sistem hukum ekonomi Islam: (a) pemilikan
bukanlah penguasaan mutlak atas sumber-sumber ekonomi, tetapi kemampuan untuk
memanfaatkannya; (b) lama pemilikan atas sesuatu benda terbatas pada lamanya
manusia hidup di dunia ini dan kalau ia meninggal dunia, harta kekayaannya
harus dibagikan kepada ahli warisnya menurut ketentuan yang ditetapkan Allah
(QS. An-Nisa ayat 7, 11, 12, 176); (c) sumber-sumber daya alam yang menyangkut
kepentingan umum atau yang menjadi hajat hidup orang banyak harus menjadi milik
umum atau negara, atau sekurang-kurangnya dikuasai oleh negara untuk
kepentiingan umum atau orang banyak.
2.
Keseimbangan
حَدَّ
ثَناَ مُحمَّدُبۡنُ عَرۡ عَرۃَ قَالَ حَدَّ ثناَ شُعۡبَۃُعَنۡ سُلَيۡمَا نَ عَنۡ
مُسۡلِمٍ الۡبَطِيۡنِ عَنۡ سَعِيۡدِ بۡنِجُبَيۡرٍ عَنۡ ابۡنِ
عَباَّسٍعَنۡالنَّبِيِّ صلَّی اللهُ عَلَيۡهِ وَسَّلَم اءَنَّهُ قاَ
ماَالۡعَمَلُ
فِيۡ اءَياَّ مٍ اءَفۡضلَ مِنۡهاَ فِيۡ هَذِهِ قَالُوۡا وَلَ الۡجِهاَ دُ قاَ لَ
وَلَ الۡجِهاَدُ اِلَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخاَ طِرُ بِنَفۡسِهِ وَماَ لِهِ فَلَمۡ
يَرۡجِعۡ بِشَيۡءٍ
Nabi berkata; “amal yang paling utama?” Sahabat
menjawab:” Bukanlah jihad?” Nabi menjawab:”Bukan jihad kecuali orang yang mau
berjuang dengan jiwa dan hartanya,dan tidak mengharap sesuatu pun.
Nilai dasar keseimbangan harus dijaga sebaik-baiknya,
bukan saja antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat, tetapi juga
keseimbangan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan umum. Disamping
itu, harus dipelihara keseimbangan antara hak dan kewajiban.
3.
Keadilan
حَدَّثَنَا يَحۡيَ بۡنُ يَحۡيَی
وَعَمۡرٌو النّاَقِدُ وَالّلفۡظُ لِيَحۡيَی قَالَعَمۡرٌوحَدَّثَناَ وَقاَلَ
يَحۡيَی اَخۡبَرَ نَا سُفۡياَ نُ بۡنُ عُيَيۡنَۃَ عَنۡ ابنِاَبِيۡ نَجِيحٍ عَنۡ
عَبۡدِ اللهِ بۡنِ كَثِيۡر
عَنۡابۡنِ عَباَّ سٍ قاَلَ
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّی اللههُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ الۡمَدِينَۃَ وَهُمۡ
يُسۡلِفُو نَ فِي الثَّماَ رِ السَّنَۃَ وَالسَّنَتَيۡنِ فَقاَلَ مَنۡ اَسۡلَفَ
فِي تَمۡرٍ فَلۡيُسۡلِفۡ فِي كَيۡلٍ
4.
مَعۡلُو مٍ
وَوَزۡنٍ مَعۡلُوۡمٍ اِلَي اَجلٍ مَعۡلُوم
Dari Ibnu Abbas: “Nabi dating ke Madinah ,mereka
memesan kurma 1-2 tahun.”Nabi bersabda:”Barang siapa yang memesan kurma maka
takaran timbangan,dan waktu harus diketahui[6]
Kata adil dalam Al-Qur’an disebut lebih dari 1000 kali
setelah perkataan Allah dan ilmu pengetahuan. Ini berarti prinsip keadilan
diterapkan dalam setiap segi kehidupan manusia terutama dalam kehidupan hukum,
sosial, politik, dan ekonomi, karena keadilan adalah titik tolak sekaligus
proses dan tujuan semua tindakan manusia.[7]
Ketiga nilai-nilai dasar sistem hukum ekonomi islam
diatas merupakan pangkal atau asal nilai-nilai instrumentalnya. Nilai
instrumental dimaksud ada lima, yaitu:
a.
Zakat
Zakat merupakan satu-satunya rukun islam yang
diwajibkan atas harta kekayaan seseorang menurut aturan tertentu. Zakat sebagai
sumber dana masyarakat Islam,besar sekali manfaatnya apabila dikelola dengan
manajemen yang baik dan dilaksanakan bersama dengan nilai instrumen
lainnya,yaitu pelarangan riba.
b.
Pelarangan riba dan judi
Riba dan
judi mempunyai dampak negative dalam kehidupan social ekonomi dan social
kemasyarakatan lainnya sehingga Allah SWT melarangnya. Pelarangan riba dan judi
dapat dilihat pada QS.Al-Baqarah ayat 275,276,278,disebutkan dengan tegas dan jelas mengenai pelarangan riba dan
judi. Riba menurut sebagian ulama yang relevan dengan ekonomi ada dua,yaitu
riba nasiah dan riba fadal. Riba nasiah adalah tambahan pada utang piutang berjangka waktu sebagai
imbalan jangka waktu tersebut. Adapun riba fadal
adalah tambahan yang diperoleh seseorang sebagai pertukaran dua barang yang
sejenis.
c.
Kerja sama ekonomi
Kerja sama
dalam mewujudkan sistem hukum ekonomi Islam bersumber dari ajaran Islam di
antarannya dapat disebut qirad. Qirad adalah kerja sama antara pemilik modal
atau uang dengan pengusaha yang mempunyai keahlian,keterampilan atau tenaga
dalam melaksanakan unit-unit ekonomi atau usaha. Dalam praktiknya qirad dibagi
dua,yaitu mudharabah dan murabahah.
d.
Jaminan sosial
Jaminan
sosial merupakan salah satu nilai instrumental yang sangat penting dalam sistem
hukum ekonomi Islam. Karena itu, melaksanakan jaminan social,manusia dapat
mendekatkan diri kepada Allah, menjadikan harta mereka bersih dan berkembang,
menghilangkan sifat tamak dan loba serta mementingkan diri sendiri.
e.
Peran Negara
Peranan Negara
pada umumnya dan pemerintah khususnya,sangat menentukan dalam nilai-nilai
sistem hukum ekonomi Islam. Peranan tersebut diperlukan dalam aspek
hukum,perenanaan,dan pengawasan alokasi atau distribusi sumber daya dan
dana,pemerataan pendapatan dan kekayaan serta pertumbuhan dan stabilitas
ekonomi.[8]
[1]Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Ekonomi
Syariah (Jakarta: Sinar GrafikaOffset, 2008). hal 4.
[2]Muhadi Zainuddin, Sistem Ekonomi Islam (Yogyakarta,
UII Press Yogyakarta, 2000). hal 1
[3]Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Ekonomi
Syariah (Jakarta: Sinar GrafikaOffset, 2008). hal 4.
[4]Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Ekonomi
Syariah (Jakarta: Sinar GrafikaOffset, 2008). hal 4-5.
[5]Izzatun
Nada, dkk. “Makalah
Ekonomi Islam”, Pena Cilik (Online), http://gudangilmusyariah.blogspot.co.id/2013/09/nilai-nilai-dasar-sistem-ekonomi-islam.html, diakses
pada 5 September 2017 12:00 WIB.
[6]
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali,
M.A., Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: Sinar GrafikaOffset, 2008). Hal1-19.
[7]Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Ekonomi
Syariah (Jakarta: Sinar GrafikaOffset, 2008). hal 5.
[8]
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali,
M.A., Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: Sinar GrafikaOffset, 2008). hal 5-7.
Langganan:
Postingan (Atom)