Sabtu, 21 Oktober 2017
Hadis tentang jual beli dan riba
Pengertian Jual Beli
Menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yanglain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’, al-mubadah, danat-tijarah. Menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan nya, antara lain:
Menurut ulama Hanafiyah: Jual beli adalah ”pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”
Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’: Jual beli adalah “pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.”
Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-mugni: Jual beli adalah “pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik. ”Pengertian lain nya jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan / menjual barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar / membeli barang yang dijual). Pada masa Rasullallah SAW harga barang itu dibayar dengan mata uang yang terbuat dari emas (dinar) dan mata uang yang terbuat dari perak (dirham).
Empat Dalil dalam jual beli :
1. Kitab Allah, dalam firman-Nya :
وأحل الله البيع وحرم الربا
“ Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba “
2. As-Sunnah, dalam sabda beliau, “Orang yang berjual-beli menurut pilihan nya selagi belum saling berpisah. “Banyak disebutkan nash Al-kitab dan As-sunnah.
3. Ijma’ orang-orang Muslim yang membolehkan nya.
4. Berdasarkan qiyas, karena kebutuhan kepadanya. Seseorang tidak bisa mendapatkan apa yang dia butuhkan, jika apa yang dia butuhkan itu ada ditangan orang lain, kecuali dengan cara tertentu.
Hadits-hadits Tentang Jual Beli :
عَنِعَبْدِاللهِبْنِعُمَرَرَضيَاللهُعَنْهُمَاعَنْرَسُوْلِاللهِصَلىَّاللهُعَليْهِوَسَلَّمَأَنَّهُقَالَإِذَاتَبَايَعَالرَّجُلاَننِفَكُلُّوَاحِدٍمِنْهُمَابِالْخِيَارِمَالَمْيَتَفَرَّقَاوَكَانَاجَمِيْعًاأَوْيُخَيِّرُأَحَدُهُمَاالآخَرَفَتَبَايَعَاعَلَىذَلِكَفَقَدْوَجَبَالْبَيْعُوَإِنْتَفَرَّقَابَعْدَأَنْيَتَبَايَعَاوَلَمْيَتْرُكْوَاحِدٌمِنْهُمَاالْبَيْعَفَقَدْوَجَبَالْبَيْعُ
“ Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, jika dua orang saling berjual-beli, maka masing-masing diantara keduanya mempunyai hak pilih selagi keduanya belum berpisah, dan keduanya sama-sama mempunyai hak, atau salah seorang diantara keduanya membeli pilihan kepada yang lain, lalu keduanya menetapkan jual-beli atas dasar pilihan itu, maka jual-beli menjadi wajib.”
عَنْحَكِيْمِبْنِحِزَامٍرَاضِيَاللهُعَنْهُقَالَرَسُوْلُاللهعَلَيْهِوَسَلَّمَالْبَيِّعَانِبِالخِيَارِمَالمْيَتفَرَّقَاأَوْقَالَحَتتّىيَتَفَرّقَافَاِنْصَدَقَوَبَيّنَابُورِكَلَهُمَافِيبَيْعِهِمَاوَإِنْكَتَمَاوَكَذَبَامُحِقَتْبَرَكَةُبَيْعِهِمَا
“Ada hadist yang semakna dari hadist Hakim bin Hizam, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, Dua orang yang berjual beli mempunyai hak pilih selagi belum berpisah, atau beliau bersabda, Hingga keduanya saling berpisah, jika keduanya saling jujur dan menjelaskan, maka keduanya saling menyembunyikan dan berdusta, maka barakah jual beli itu dihapuskan.
Adapun Ayat Al-quran yang Berkaitan dengan Jual Beli
Jual beli adalah perbuatan yang dihalalkan oleh Allah SWT. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-qur’an:
ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ
Artinya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS.Al-baqarah ayat 275).
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍۢ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًۭا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa’:29)
B. Syarat - syarat Jual Beli:
1. Adanya keridhaan antara penjual dan pembeli
2. Orang yang mengadakan transaksi jual beli seseorang yang dibolehkan untuk menggunakan harta. Yaitu seorang yang baligh, berakal, merdeka dan rasyiid (cerdik bukan idiot).
3. Penjual adalah seorang yang memiliki barang yang akan dijual atau yang menduduki kedudukan kepemilikkan, seperti seorang yang diwakilkan untuk menjual barang.
4. Barang yang dijual adalah barang yang mubah (boleh) untuk diambil manfaatnya, seperti menjual makanan dan minuman yang halal dan bukan barang yang haram seperti menjual khamr (minuman yang memabukkan), alat musik, bangkai, anjing, babi dan yang lainnya.
5. Barang yang dijual / dijadikan transaksi barang yang bias untuk diserahkan. Dikarenakan jika barang yang dijual tidak bias diserahkan kepada pembeli maka tidak sah jual belinya. Seperti menjual barang yang tidak ada. Karena termasuk jual beli gharar (penipuan). Seperti menjual ikan yang ada air, menjual burung yang masih terbang diudara.
6. Barang yang dijual sesuatu yang diketahui penjual dan pembeli, dengan melihatnya atau memberitahu sifat-sifat barang tersebut sehingga membedakan dengan yang lain. Dikarenakan ketidaktahuan barang yang ditransaksikan adalah bentuk dari gharar.
7. Harga barangnya diketahui, dengan bilangan nominal tertentu.
C. Rukun Jual Beli
Dalam jual beli itu terdapat rukunnya, yaitu: [9]
1. Penjual dan pembeli
- Berakal
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا... (النساء: 5)
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja...”
- Kehendak sendiri atau tanpa paksaan
- Tidak mubazir
- Baligh
2. Uang dan benda yang dibeli
- Suci
- ada manfaatnya
- barang itu dapat diserahkan (barangnya nyata)
- barang tersebut benar-benar milik sipenjual
لآَبَيْعَ إِلاَّفِيْمَا يُمْلَكَ (رواه ابوداودوالترمدى)
“Tidak sah jual beli kecuali barang yang dimiliki sendiri”. (H.R Abu Dawud dan Tirmidzi)
3. lapadz ijab qabul
إِنَّمَا الْبَيْعَ عَنْ تَرَاضٍ. (رواه إبن حبّان)
“Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika saling suka”. (H.R Ibnu Hibban)
Macam-Macam Jual Beli
Jual Beli ada tiga macam yaitu:
Menjual barang yang bisa dilihat: Hukumnya boleh / sah jika barang yang dijual suci, bermanfaat dan memenuhi rukun jual beli.
Menjual barang yang disifati (memesan barang): Hukumnya boleh / sah jika barang yang dijual sesuai dengan sifatnya (sesuai promo).
Menjual barang yang tidak kelihatan: Hukumnya tidak boleh / tidak sah. Boleh / sah menjual sesuatu yang suci dan bermanfaat dan tidak diperbolehkan / tidak sah menjual sesuatu yang najis dan tidak bermanfaat.
Pengertian Riba
Riba menurut bahasa adalah ziyadah, yaitu tambahan yang diminta atas utang pokok. Riba adalah kelebihan pembayaran yang dibebankan terhadap pinjaman pokok sebagai imbalan terkait jangka waktu pengembalian atas pinjaman itu. Ibn Hajar Askalani mengatakan bahwa, riba adalah kelebihan baik itu berupa kelebihan dalam bentuk barang maupun uang, seperti dua rupiah sebagai penukaran dengan satu rupiah. Peminjam akan membayar sejumlah lebih tinggi dari pinjaman yang telah diterima, karena adanya perbedaan antara waktu pada saat pinjaman dibayar. Perbedaan waktu akan berdampak pada perbedaan jumlah yang dipinjam dengan jumlah yang dikembalikan. Setiap tambahan yang diambil dari transaksi utang piutang bertentangan dengan prinsip islam.
Muslim:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالفِضَّةِ وَالبَرُّ بِالبَرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشّعِيرِوَالتَمْرُ بِالتَمْرِ وَالمِلْحُ بِالمِلْحِ مِثْلاً
بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَواسْتَزَادَ فَهُوَ الرِّبَا
Rasalullah bersabda:”Emas dengan emas sama timbangan dan ukurannya, perak dengan perak sama dengan timbangan dan ukurannya.Barang siapa minta tambah maka termasuk riba”.
Dala hadis tersebut dapat dipahami bahwa apabila tukar menukar emas atau perak harus sama ukuran dan timbangannya,jika tidak sama termasuk riba.Dari situ dapat dipahami bahwa riba adalah ziyadah atau tambahan.Dalam istilah liguistik riba berarti tumbuh dan membersar.Akan tetapi tidak semua tambahan adalah riba.Dalam istilah fiqih.riba adalah pengambilan tambahan dari jual beli maupunn pinjam meminjam.Dalam Hadis disebutkan jenis komoditas yang rentan riba,yaitu emas,perak,delai ,korma
Bukhori:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا اِلَّاهَاءَ وَ هَاءَ وَالبِرُّ بِالبِرِّ رِبًا اِلاَّ هَاءَ وَ هَاءَ وَ التَمْرُ بِالتَمْرِ رِبًا اِلاَّ هَاءَ وَ هَاءَ
وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ رِبًا اِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
Rosulullah bersabda: ”Emas dengan emas adalah riba kecuali sama, gandum putih dengan gandum putih adalah riba kecuali sama, kurma dengan kurma adalah riba kecuali sama, gandum merah dengan gandum merah adalah riba kecuali sama”.
Dari jenis yang disebutkan dalam hadis,muncul pertanyaan apakah hanya komoditas itu yang diharamkan?Dua diantaranya adalah emas dan perak mewakili komoditas uang,sedang yang lainnya mewakili kelompok bahan makanan.Menurut Hanafi dan Hambali,barang yang berpontensi terkena riba adalah semua barang yang dapat dijual,sedang menurut Syafi’i adalah barang yang dapat dimakan.Adapun Imam Malik berpendapat bahwa yang berpotensi terkena riba adalah barang yang dapat dimakan dan tahan lama,sedangkan ad-dzahiri membatasi hanya pada barang yang disebut dalam hadis.
Dalam konteks kekinian,tampaknya orang akan cenderung sepakat bahwa yang termasuk riba tidak terbatas pada komunitas yang termaktub dalam hadis,tetapi yang mempunyai karakter yang sama dengan komoditas dalam haadis,yaitu kebutuhan mendasar masyarakat,termasuk BBM.
Hadis tentang Larangan Riba
Riba Termasuk Dosa Besar
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah itu? Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan haq, memakan riba, makan harta anak yatim, kabur dari medan peperangan dan menuduh seorang wanita mu’min yang suci berbuat zina”. (Bukhari, Bab Ramyul Muhsanat, No. 6351)
Haramnya Menghalalkan Riba
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَقَالَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَيَبِيتَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى أَشَرٍ وَبَطَرٍ وَلَعِبٍ وَلَهْوٍ فَيُصْبِحُوا قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ بِاسْتِحْلَالِهِمْ الْمَحَارِمَ وَالْقَيْنَاتِ وَشُرْبِهِمْ الْخَمْرَ وَأَكْلِهِمْ الرِّبَا وَلُبْسِهِمْ الْحَرِيرَ
Dari Ibnu ‘Abbas dari Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Demi jiwa yang Muhammad berada ditanganNya, sungguh beberapa orang dari ummatku bermalam dengan bersuka ria, menyalahgunakan nikmat dan bermain-main, di pagi harinya mereka menjadi kera dan babi karena mereka menghalalkan yang haram, nyanyian, minum khamer, makan riba dan mengenakan sutera.” (Ahmad, bab Musnad Ibn Abbas, 21725 )
Riba lebih buruk dari 36 kali zina
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْظَلَةَ غَسِيلِ الْمَلَائِكَةِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً
Dari ‘Abdullah bin Hanzhalah, yang dimandikan oleh para malaikat, ia berkata; Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Satu dirham hasil riba yang dimakan seseorang sementara ia mengetahuinya, itu lebih buruk dari tigapuluh kali berzina.” (HR. Ahmad)
Jenis-Jenis Riba
Riba dilihat dari asal transaksinya dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu riba berasal dari transaksi utang piutang dan jual beli.
Riba dari utang piutang
Riba ini terjadi disebabkan adanya transaksi utang piutang antara dua belah pihak.Riba yang berasal dari utang piutang dibagi menjadi dua jenis yaitu riba qardh dan riba jahiliyah.
1). Riba Qardh
Riba qardh adalah tambahan atau kelebihan yang telah disyaratkan dalam perjanjian antara pihak pemberi pinjaman dan peminjam.Dalam perjanjian disebutkan bahwa pihak pemberi pinjaman meminta adanya tambahan sejumlah tertentu kepada pihak peminjam pada saat peminjam mengembalikan pinjamannya
2). Riba Jahiliyah
Riba jahiliyah merupakan riba yang timbul karena adanya keterlambatan pembayaran dari si peminjam sesuai dengan waktu pengembalian yang telah diperjanjikan.Peminjam akan membayar dengan jumlah ketentuan yang jumlahnya melebihi jumlah uang yang telah dipinjamnya apabila peminjam tidak mampu membayar pinjamannya sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjiakan.Kelebihan atas pokok pinjaman ini ditulis dalam perjanjian,sehingga mengikat pada pihak peminjam.
Riba dari transaksi jual beli
Riba bisa juga disebakan dari transaksi pertukaran barang atau jual beli.Riba berasal dari transaksi jual beli dibagi menjadi dua yaitu Riba Fadhl dan nasiah
1). Riba Fadhl
Riba Fadhl ialah pertukaran (jual beli) antara barang sejenis namun tidak memenuhi kriteria, yakni kriteria secara kuantitasnya (sawaan bi sawiin), kualitasnya (mitslan bi mitslin), dan penyerahannya yang tidak tunai atau spot (yadaan bi yadiin). Perkataan fadhl berarti kelebihan yang dikenakan dalam pertukaran atau penjualan barang yang sama jenisnya atau bentuknya.
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584)
2). Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah ialah kewajiban menanggung beban bagi salah seorang yang melakukan pertukaran, hanya karena berjalannya waktu. Menurut Ibnu Qayyum al-Jawziyya, riba nasi’ah adalah tambahan atas salah satu barang yang diutang, seperti orang yang berutang sekati kurma di musim dingin, dibayar kembali dengan satu setengah sekati kurma di musim panas.
An-Nasa’i:
لَا رِبَا اِلَا فِي النَسِيْئَهِ
Nabi SAW bersabda: “Tidak riba kecuali nasi’ah”
Hadis tersebut bukan berarti hanya riba nasi’ah yang diharamkan, semua riba haram. Asbabul wurudnya adalah nabi ditanya tentang pertukaran antara gandum dan syair, emas dan perak dengan pembayaran diakhirkan. Hadis ini lebih tepat jika dipahami bahwa riba nasi’ah adalah riba yang terberat dibandingkan riba lainnya. Hal ini sama dengan pernyataan “Tidak ada ulama di daerah ini kecuali Ahmad” padahal banyak ulama lain selain Ahmad, hanya saja Ahmad merupakan ulama yang paling disegani.
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua,yaitu riba utang piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi menjadi terbagi menjadi riba qordh dan jahiliyah ,sedangkan kelompok kedua ada dua macam,yaitu fadl dan nasi’ah .
Hukum Riba
Secara garis besar pandangan hukum riba ada dua kelompok:
Kelompok pertama:
Mengharamkan riba yang berlipat ganda/ad’afan muda’fa, karena yang diharamkan al-Quran adalah riba yang berlipat ganda saja, yakni riba nasi’ah, kemudian terbukti pula dengan hadis bahwa tidak ada riba kecuali nasi’ah. Karenanya, selain dari riba nasi’ah maka diperbolehkan. Dalam bahasa Inggris riba yang berlipat ganda (ad’afan muda’afa) disebut dengan usury, sedangkan riba yang tidak berlipat ganda disebut dengan interest. Contoh dari negara yang menganut pandangan ini ialah Malaysia. Oleh karenanya, pemungutan bunga di bank islam Malaysia diperbolehkan.
Kelompok kedua:
Mengharamkan riba, baik yang besar (usury) maupun kecil (interest). Pandangan ini berpendapat bahwa riba yang kecil atau yang besar itu sama saja, keduanya diharamkan. Riba yang besar atau berlipat ganda (ad’afan muda’fa) diharamkan karena dzatnya atau karena riba ini memang diharamkan. Sedangkan riba yang kecil diharamkan bukan karena riba ini memang sudah diharamkan melainkan karena sebab untuk menghindari riba yang lebih besar (haramun lilisyadzu dzariah). Dalam QS. Al-Baqarah 2: 275, riba sudah diharamkan secara umum baik yang besar maupun yang kecil. Dari asbabun nuzulnya diketahui bahwa ketika turun ayat tersebut telah terjadi praktik riba tidak saja yang besar tetapi juga yang kecil. Dan dalam hal ini berlaku kaidah al-Ibrah biumumi al-lafdzi la bi khusushi sabab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar